Komunikasi Antar Budaya Menurut Hammer
Perintis yang penting kepada kompetensi budaya ialah sensitiviti antara Budaya Menurut Hammer, sensitiviti terhadap budaya yang tinggi adalah berkaitan dengan potensi yang tinggi untuk penerapan kompetensi Budaya. Sensitiviti antara budaya merujuk kepada keupayaan untuk mendiskriminasi dan melalui pengalaman yang relevan terhadap perbedaan Budaya
Etnosentrisme merujuk kepada padangan atau sikap yang percaya bahawa budaya etnik sendiri lebih unggul daripada budaya etnik lain. Etnorelativisme pula merujuk kepada padangan atau sikap yang percaya bahawa budaya etnik sendiri tidak semestinya unggul atau mutlak, tetapi berbeza antara individu atau Budaya.
Salah satu studi yang pernah dilakukan Hammer menetapan tiga tema sentral efektivitas komunikasi, yaitu: a) Keterampilan berkomunikasi b) Kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan tekanan antarbudaya c) Kemampuan untuk membangun relasi-relasi antarbudaya
Komunikasi antarbudaya merupakan salah satu kajian ilmu komunikasi. Hammer mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya telah memenuhi syarat untuk dijadikan sebagai salah satu kajian dalam ilmu komunikasi. Hal ini dikarenakan sebagai berikut: a. Secara teoritis memindahkan fokus dari satu kebudayaan kepada kebudayaan yang dibandingkan. b. Membawa konsep aras makro kebudayaan ke aras mikro kebudayaan. c. Menghubungkan kebudayaan dengan proses komunikasi.
Hammer menggunakan uncertainty sebagai ketidakmampuan untuk memprediksi atau menjelaskan perilaku orang lain, perasaan, sikap atau nilai-nilai dan anxiety adalah perasaan tidak nyaman, tegang, gelisah atau cemas. Kedua hal ini digunakan untuk menjelaskan hubungan antarbudaya.
Hammer berfokus tentang bagaimana pengelolaan/manajemen yang dilakukan seseorang untuk mengurangi kecemasan (anxiety) dan ketidakpastian (uncertainty) yang dialami ketika berhadapan dengan budaya barunya. Uncertainty sebagai ketidakmampuan untuk memprediksi atau menjelaskan perilaku orang lain, perasaan, sikap atau nilai-nilai dan anxiety adalah perasaan tidak nyaman, tegang, gelisah atau cemas.
Gaya Manajemen Konflik Menurut Thomas & Kilmann
Thomas & Kilman dalam buku Wirawan (2013:140) menerangkan 5 jenis gaya manajemen konflik diantaranya: Kompetisi (competing). Gaya manajemen konflik dengan tingkat keserifan tinggi dan tingkat kerja sama rendah. Gaya ini merupakan gaya yang berorientasi pada kekuasaan, di mana seseorang akan menggunakan kekuasaan yang dimilikinya untuk memenangkan konflik dengan biaya lawannya.
Kolaborasi (collaborating). Gaya manajemen konflik dengan tingkat keasertifan dan kerja sama yang tinggi. Tujuannya adalah untuk mencari alternatif, dasar bersama, dan sepenuhnya memenuhi harapan kedua belah pihak yang terlibat konflik.gaya manajemen konflik kolaborasi merupakan upaya bernegosiasi untuk menciptakan solusi yang sepenuhnya memuaskan pihak-pihak yang terlibat konflik. upaya tersebut sering meliputi saling memahami permasalahan konflik atau saling mempelajari ketidaksepakatan. Selain itu, kreativitas dan inovasi juga digunakan untuk mencari alternatif yang dapat diterima oleh kedua belah pihak.
Kompromi (compromising). Gaya manajemen konflik kompromi berada di tengah antara gaya kompetisi dan gaya kolaborasi. Dalam keadaan tertentu, kompromi dapat berarti membagi perbedaan di antara dua posisi dan memberikan konsensi untuk mencari titik tengah. Dalam menggunakan gaya manajemen kompromi ini, diperlukannya keterampilan dalam penggunaannya. Dimana keterampilan yang harus dimiliki yaitu kemampuan bernegosiasi, mendengarkan dengan baik yang dikemukakan oleh lawan konflik, mengevaluasi nilai, menemukan jalan tengah, dan memberi konsensi. Dengan demikian konflik yang terjadi dapat ditekan dan tidak menimbulkan konflik yang baru.
Berikut adalah alasan pihak yang terlibat konflik menggunakan gaya manajemen konflik kompromi: Pentingnya tujuan koflik hanya sedang dan tidak cukup bernilai untuk dipertahankan dengan menggunakan gaya manajemen konflik kompetisi atau kolaborasi. Akan tetapi, konflik juga terlalu penting untuk dihindari, Kedua belah pihak mempunyai kekuasaan dan konflik yang sama, serta mempunyai tujuan yang hamper sama, Untuk mencapai solusi sementara atas masalah yang kompleks. Menghindar (avoiding).
Gaya manajemen konflik dengan tingkat keasertifan dan kerja sama yang rendah. Dalam gaya manajemen konflik ini kedua belah pihak yang terlibat konflik berusaha menghindari konflik. Menurut Thomas dan Klimann bebtuk menghindar tersebut bisa berupa: (a) menjauhkn diri dari pokok masalah; (b) menunda pokok masalah hingga waktu yang tepat; atau (c) menarik diri dari konflik yang mengancam dan merugikan. Mengakomodasi (accommodating). Gaya manajemen konflik dengan tingkat keasertifan rendah dan tingkat kerja sama tinggi. Seseorang mengabaikan kepentingan dirinya sendiri berupaya memuaskan kepentingan lawan konfliknya
Kesimpulan
sensitif terhadap budaya yang tinggi memiliki potensi yang tinggi terhadap penerapan kompetensi budaya lain dan hal tersebut merujuk kepada upaya untuk mendiskriminasikan terhadapap perbedaan budaya termaksud seperti etnosentrisme yang merujuk kepada pandangan atau sikap yang percaya bahwa budaya etnik sendiri lebih unggul daripada budaya etnik lain.
serta untuk mengatur itu semua terdapat gaya manajemen konflik untuk mengontrol disetiap konflik yang terjadi seperti contohnya menjauhkan diri dari pokok masalah, menunggu pada pokok masalah yang tepat,menarik diri dari konflik yang mengancam dan merugikan.
Model Komunikasi AntarBudaya Menurut Stella Ting-Toomey
Manusia dapat mengalami ekspresi wajah tertentu secara sengaja, tetapi umunya ekpresi wajah dialami secara tidak sengaja akibat perasaan dan emosi manusia tersebut. Misalnya seseorang yang menyembunyikan perasaan bencinya terhadap seseorang, pada saat tertentu tanpa sengaja akan menujukkan perasaanya tersebut melalui ekpresi wajahnya atau facework, walaupun ia berusaha menunjukkan perasaanya tersebut diwajahnya, dan berusaha menunjukkan ekpresi netral. Tersenyum juga dapat mempengaruhi situasi normal untuk dapat menghindari kesalahpahaman. Menurut Ekman (1982) ekpresi wajah utama adalah mereka untuk kebahagian, terkejut, takut, sedih, marah dan penghinaan. Ekpresi wajah merupakan sumber penting dari umpan balik dalam proses komunikasi antarpribadi yang menunjukkan bagiamana orang lain bisa merespon pesan yang disampaikan dengan Wajah mengacu pada gambar diri seseorang di hadapan orang lain. Wajah merupakan gambaran yang diinginkan seseorang sebagai jati dirinya dalam sebuah situasi sosial. Teori Negosiasi Wajah (FaceNegotiation Theory) dikembangkan oleh Stella Ting-Toomey pada tahun 1988. Teori ini memberikan sebuah dasar untuk memperkirakan bagaimana manusia akan menyelesaikan karya wajah dalam sebuah kebudayaan yang berbeda.
Face-negotiation theory
Face-negotiation theory adalah teori pertama diusulkan oleh Brown dan Levinson (1978) untuk memahami bagaimana orang-orang dari budaya yang berbeda mengelola hubungan dan perbedaan pendapat. Teori ini berpendapat "wajah", atau citra diri, sebagai fenomena universal yang meliputi seluruh budaya. Dalam konflik, wajah seseorang yang terancam, cenderung menyimpan atau mengembalikan wajahnya. Setiap perilaku komunikatif ini, menurut teori ini, yang disebut "facework". Sejak orang-orang memaknai "wajah" dan memberlakukan "facework" berbeda dari satu budaya ke yang berikutnya, teori ini menimbulkan kerangka budaya yang umum untuk memeriksa negosiasi facework.
Teori Negosiasi Wajah (FaceNegotiation Theory) dikembangkan oleh Stella Ting-Toomey pada tahun 1988. Teori ini memberikan sebuah dasar untuk memperkirakan bagaimana manusia akan menyelesaikan karya wajah dalam sebuah kebudayaan yang berbeda. Wajah atau rupa mengacu pada gambar diri seseorang di hadapan orang lain. Hal ini melibatkan rasa hormat, kehormatan, status, koneksi, kesetiaan dan nilai-nilai lain yang serupa. Dengan kata lain rupa merupakan gambaran yang anda inginkan atau jati diri orang lain yang berasal dari anda dalam sebuah situasi sosial. Karya wajah adalah perilaku komunikasi manusia yang digunakan untuk membangun dan melindungi rupa mereka serta untuk melindungi, membangun dan mengancam wajah orang lain. Teori ini merupakan teori gabungan antara penelitian komunikasi lintas budaya, konflik, dan kesantunan. Teori negosiasi wajah sendiri memiliki daya tarik dan penerapan lintas budaya karena Stella Ting-Toomey pencetus teori ini berfokus pada sejumlah populasi budaya, termasuk Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Cina dan Amerika Serikat. Ting-Toomy menjelaskan bahwa budaya memberi bingkai interpretasi yang lebih besar di mana wajah dan gaya konflik dapat diekspresikan dan dipertahankan secara bermakna. Penulis telah meneliti antar etnik batak dan minang kerap terjadi konflik diantara dua etnik ini dengan ciri khas ekspresi masingmasing tiap etnik, akan timbul konflik jika tidak dapat mengekspresikan wajah saat berinteraksi.
a) Menurut Ting-Toomey dan Oetzel (2001), pengetahuan ditentukan oleh sejauh mana seseorang mengembangkan pemahaman yang mendalam tentang konsep-konsep penting komunikasi antarbudaya sehigga dia dapat menjadi seorang yang berkompeten membantu pengelolaan konflik berbasis budaya.
b) Pengetahuan tentang kepekaan budaya yang memungkinkan dia mendorong para pihak yang berselisih atau terlibat dalam konflik antarbudaya. Dia juga dapat mengungkapkan lens etnosentris yang dipakai oleh orang-orang yang terlibat konflik agar mereka dapatGilirannya membentuk perspektif akurat, yang pada Membingkai ulang situasi konflik dari sudut pandang budaya pihak lain. Ini berarti kita membutuhkan seseorang yang paham tentang fitur situasional, seperti etnosentrisme dan prasangka, yang dianggap memengaruhi anggota budaya yang berbeda dapat menangani konflik.
c) Terhadap nilai-nilai budaya dan hasil konflik, secara umum, individualis peduli terhadap penyelesaian konflik, sementara kolektivis peduli dengan masalah manajemen proses terjadinya konflik.
d) Mengenai power distance cultures and conflict outcomes, dalam budaya dengan jarak kekuasaan kecil, individu harus belajar memberdayakan diri agar bersikap tegas dalam mengelola konflik secara konstruktif. Sebaliknya, dalam budaya dengan jarak kekuasaan besar, individu harus belajar menggunakan jaringan pribadi dan sosial mereka secara tepat untuk mengelola konflik secara produktif.
a) Mindfulness: merupakan cara spiritual, meditatif, reflektif, psikologis, dan terapan untuk hidup dan berkomunikasi secara terencana. Stella Ting-Toomey mengutip praktik spiritual Buddhis Timur itu ke dalam FNT. la mengatakan bahwa mindfulness berkaitan dengan bagaimana individu memperhatikan asumsi internal orang lain yang mendorong timbulnya emosi, niat, kognisi, sikap, dan perilaku. Refleksivitas yang penh perhatian tersebut menuntut individu untuk menyesuaikan diri dengan asumsi budaya dan kebiasaan pribadi kita sendiri dalam memindai adegan komunikasi. Ini juga berarti kita "mengosongkan pola pikir kita" dari kekacauan suara- suara internal agar kita dapat mendengarkan orang lain dengan hati yang murni (Ting-Toomey, 1999). Mindfulness memiliki empat komponen utama, yaitu regulasi perhatian, kesadaran tubuh, regulasi emosi, dan perubahan perspektif diri (Holzel, et al., 2011).
b) Mindful reflexivity: kita merefleksikan dir kita untuk sepenuhnya sadar dan memahami budaya dan pribadi orang lain yang terlibat dalam situasi konflik. Dari sini kita akan lebih sadar ketika kita melibatkan diri dan memahami perbedaan antarbudaya, melihat perilaku orang dari budaya lain yang kita temui dari perspektif non-judgmental atau tidak menghakimi orang lain. Meskipun ini tidak mudah dilakukan, kita perl memperhatikan dan memahami berbagai faktor budaya dan situasional yang berperan dalam episode konflik. Kita perlu mengintegrasikan ide-ide baru dan/atau memperluas berbagai perspektif yang hail akhirnya bisa berupa pengembangan pribadi, relasional, keluarga, dan organisasi.
c) Mindfulness is analytical: satu hal lain yang harus kita latih adalah kita harus menjadi praktis dalam mindfulness. Kita harus memiliki analytical empathy yang dalam. Cara sistematis memosisikan diri kita untuk melihat dan mengalami peristiwa konflik dari pandangan pihak lain sehingga kita mendapatkan wawasan alternatif dalam mendekati masalah (Rothman, 1997). Tujuannya adalah agar kita dapat mempraktikkan perspektif konflik yang bijaksana, yang mendorong dialog kolaboratif.
Constructive Conflict Skills Dimension
Konsep ini mengacu pada kemampuan operasional kita untuk mengelola situasi konflik antarbudaya secara tepat, efektif, memuaskan, dan produktif. Komunikator konflik yang konstruktif menggunakan keterampilan interaksi yang peka budaya untuk mengelola proses konflik secara adaptif dan mencapai tujuan penting bagi semua pihak secara damai. Ting-Toomey dan Oetzel (2001) mengemukakan sepuluh inti keterampilan konflik konstruktif yang sangat penting dalam situasi konflik antarbudaya hal apa pun, yaitu sebagai berikut:
a) Mindful observation: melalui analisis O-D-I-S (Observe-Describe- Interpret-Suspend Evaluation), kita belajar mengamati sinyal verbal dan nonverbal dengan saksama dalam proses konflik. Kemudian, kita harus menggambarkan secara mental dalam istilah spesifik perilaku apa yang terjadi dalam interaksi konflik. Selanjutnya, kita harus menghasilkan banyak interpretasi untuk memahami perilaku yang kita amati dan menggambarkan perilaku tersebut, akhirnya kita dapat memutuskan untuk menghargai perbedaan dan menunda evaluasi etnosentris kita.
b) Mindful listening atau mendengarkan dengan penuh perhatian: ketika para pihak mendengarkan informasi bar dalam negosiasi konflik, para pihak harus belajar mendengarkan dengan penh perhatian satu sama lain, bahkan ketika mereka tidak setuju sekalipun. Dalam harus situasi konflik antarbudaya, pihak-pihak yang tidak setuju asumsi belajar mendengarkan dengan penh perhatian semua Mereka harus belajar budaya yang diungkapkan dalam interaksi. mendengarkan secara responsif atau 'ting'-bahasa Cina untuk "mendengarkan"-memperhatikan dengan cermat dengan telinga, mata, dan hati kita pada bunyi, nada, gerak tubuh, gestur, nuansa nonverbal, jeda, dan diam dalam situasi tertentu.
c) Mindful reframing: pembingkaian kembali setiap informasi dengan penuh kesadaran bahwa, baik individualis maupun kolektivis perlu belajar bagaimana "menerjemahkan" pesan verbal dan nonverbal pihak lain dari konteks sudut pandang budaya pihak lain. Membingkai lang juga berarti pihak-pihak yang berkonflik perl memprioritaskan ulang tujuan mereka setelah dengan cermat mengamati dan mendengarkan sudut pandang dan harapan dari lawan konflik mereka. Misalnya, setelah mendengarkan keluhan dari seorang kolektivis, maka seorang individualis mungkin menyadari bahwa gesekan tidak terletak pada masalah tujuan konten, tetapi pada masalah penghormatan/penghinaan identitas. Sebaliknya, setelah memahami keluhan dari seorang individualis, seorang kolektivis mungkin menyadari/bahwa seorang individualis benar- benar menginginkan penyelesaian solusi dan sama sekali tidak mencoba untuk "sedikit" mencoreng citra wajah kolektivis. Kedua pihak juga harus ingat bahwa banyak dari konflik antarpersonal didasarkan pada kebiasaan budaya dan skrip yang tidak disadari.
d) Identity validation: terjadi ketika: (1) kita menyapa orang dengan label, nama, dan identitas yang mereka inginkan; (2) menggunakan bahasa situasional yang mencakup anggota bahasa inklusif dan ingroup menolak wacana khusus yang dan outgroup; dan (3) mengenali berbagai wacana dan berhadapan dengan perbedaan, interpretasi realitas, menolak pandangan kelompok dominan, dan menantang pandangan stereotip dari kelompok dominan.
e) Facework management: melibatkan pelestarian atau perlindungan identitas komunikasi kita sendiri selama episode konflik, pada saat bersamaan kita berurusan dengan identitas komunikasi pihak lain. Semua ini dapat dirangkum dengan konsep 'facework'. Berarti kita tidak boleh mempermalukan orang lain, terutama terhadap lawan konflik di depan umum.
f) Productive power balancing: hubungan para pihak dalam episode mana satu pihak tergantung konflik, yang berkaitan dengan sejauh pada yang lain untuk pencapaian tujuan apa pun. Artinya, kita harus dapat memakai kekuasaan secara positif untuk memelihara hubungan para pihak dengan sungguh-sungguh, melalui men- dengarkan keprihatinan, kebutuhan, harapan, dan keinginan pihak lain.
g) Collaborative dialogue: upaya untuk menemukan titik temu, berbagi kekuasaan secara produktif. Keterampilan pengamatan yang cermat, mendengarkan demi terlaksananya proses dialog kolaboratif.
h) Problem-solving skills: keterampilan yang berkaitan dengan pemecahan masalah. Dalam fase diferensiasi, tim penyelesaian konflik mengklarifikasi posisi dan tujuan kontras dari konflik, lalu mendengarkan alasan mendasar tentang perbedaan budaya.
i) Transcendent discourse: ketika konflik antarbudaya melibatkan masalah kekuasaan dan identitas yang mengakibatkan konflik moral tetap tidak terselesaikan. Litlejohn (195) mengadvokasi penggunaan wacana transenden yang menyediakan cara shat di mana perbedaan dapat diungkapkan, memungkinkan semua suara didengar dengan menghormati, dan menghindari pola negatif yang sering dikaitkan dengan bentrokan moral.
j) Interaction adaptability: kemampuan untuk mengubah tujuan dan perilaku konflik demi memenuhi kebutuhan spesifik dari situasi (Duran, 1985). Ini menandakan bahwa kesadaran penuh perhatian akan perspektif, minat, tujuan, atau ketiganya, dan keinginan untuk memodifikasi minat atau tujuan untuk beradaptasi dengan situasi konflik.
Contoh Face Negotiation Theory
Menurut Stella Ting-Toomey “Orang menghadapi situasi konflik akan berbeda dari budaya individualis dan budaya kolektivis. Ketika orang biasa di AS, respons terhadap konflik akan mempertahankan diri dan mendominasi. Sementara bagi seseorang yang telah bermigrasi dari budaya kolektif seperti Cina, Korea Selatan, Jepang dan Taiwan, responnya mencerminkan budayanya (budaya kolektif) untuk menghindari konflik atau tunduk pada situasi.
Ada perceraian pasangan menikah yang menjadi alot karena perebutan hak asuh anak. Sang ayah yang berlatar belakang batak memiliki watak keras tidak mau mengalah dan sangat kekeuh untuk mendapatkan kemenangan. Sang ibu yang memiliki latar belakang jawa sangat memperhatikan perasaan dan pendapat orang lain, memiliki tempramen yang kalem dan berpikiran tenang. Terjadilah perdebatan, saling melontarkan argumen di dalam ruang sidang. Sang hakim yang menangani kasus ini melihat dari cara bagaiamana sang ayah dan sang ibu menyelesaikan persoalan di ruang sidang dan mengambil keputusan bahwa hak asuh anak jatuh ke tangan sang ibu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar