Model Young Yun Kim
Teori (integratif) adaptasi lintas budaya (integrative theory of cross-cultural adaptation) diperkenalkan oleh Young Yun Kim. Teori ini menjelaskan proses transformasi budaya yang dialami semua orang pada saat mereka pindah ke lingkungan baru yang budayanya tidak dikenal. Konsep adaptasi lintas budaya mengacu pada proses di mana seseorang mencapai tingkat kenyamanan psikologis dan fungsional dalam lingkungan budaya penerima. Ketika individu memperoleh beberapa karakteristik budaya tuan rumah, dia mungkin kehilangan beberapa karakteristik budaya asalnya, seperti bahasa, adat istiadat, dan semua identitas budaya asli yang kaku. Kim berpendapat bahwa inilah proses awal terjadinya transformasi budaya, sebagai transformasi identitas antarbudaya sehingga "pendatang" mulai merasa kurang terikat dengan identitas kelompok asalnya. Penelitian Kim ini berlaku bagi individu yang memasuki budaya baru untuk jangka waktu yang berbeda, misalnya para pekerja migran, diplomat, para mahasiswa, veteran, dan lain-lain (Kim, 1988, 2001, 2005).
Investigasi Teoretis,Penelitian Kim mengenai adaptasi lintas budaya dimulai pada tahun 1970-an melalui survei terhadap para imigran Korea di wilayah Chicago. Kemudian, diperluas untuk mempelajari kelompok-kelompok imigran dan pengungsi lainnya di Amerika Serikat seperti orang-orang Indian-Amerika, Jepang dan Meksiko-Amerika, dan para pengungsi Asia Tenggara. Selain mempelajari kelompok-kelompok imigran, Young Yun Kim meneliti kelompok-kelompok siswa yang belajar di luar negeri di AS, serta siswa internasional di Jepang, ekspatriat Korea di AS dan ekspatriat Amerika di Korea Selatan. Garis besar pertama teorinya ditemukan dalam sebuah artikel berjudul "Toward an Interactive Theory of Communication-Acculturation", yang kemudian disajikan lengkap dalam teori Communication and Cross-Cultural Adaptation: An Integrative Theory (Kim, 1988), yang disempurnakan lagi dalam Becoming Intercultural: An Integrative Theory of Communication and Cross-Cultural Adaptation (Kim, 2001).
Kim menyatakan bahwa ada lima mata rantai utama yang hilang dalam litcratur adaptasi lintas budaya, yang dia bahas kembali dalam cakupan teorinya, yaitu:
a. Kurangnya perhatian pada faktor-faktor tingkat makro, seperti pola budaya dan kelembagaan dari lingkungan tuan rumah.
b. Perlu mengintegrasikan area penyelidikan tradisional secara terpisah untuk mengetahui adaptasi jangka panjang dan jangka pendek.
c. Adaptasi lintas budaya harus dilihat dalam konteks pembelajaran baru dan pertumbuhan psikologis untuk memberikan interpretasi yang lebih seimbang dan lengkap dari pengalaman individu dalam lingkungan yang tidak dia dikenal.
d. Harus ada upaya untuk memilah dan mengonsolidasikan faktor-faktor yang membentuk dan/atau menjelaskan proses adaptasi lintas budaya individu.
e. Dasar ideologis yang berbeda dari asimilasionalisme dan pluralisme perlu diakui dan dimasukkan ke dalam konsepsi pragmatis adaptasi lintas budaya; soal ini harus dipandang sebagai kondisi lingkungan tuan rumah serta individu yang beradaptasi dengan lingkungan tersebut.
Kim (1988) menjelaskan teori integratifnya melalui gambaran tentang adaptasi komunikasi lintas budaya sebagai berikut:
a. Adaptasi sebagai fenomena alamiah dan universal. Teori komunikasi integratif bersandar pada naluri manusia untuk memperjuangkan keseimbangan ketika mereka bertemu dengan kondisi lingkungan yang berlawanan, seperti yang mereka alami dalam budaya baru. Pengalaman ini tidak terbatas pada satu wilayah saja dan satu kelompok budaya atau bangsa saja, tetapi merupakan konsep universal dari kecenderungan dasar manusia, kecenderungan setiap individu dalam perjuangan menghadapi lingkungan baru dan menantang (Kim, 2005).
b. Adaptasi sebagai fenomena yang mencakup semua. Kim menjelaskan bahwa adaptasi lintas budaya sebagai proses multi-stage. Inilah yang membuat teori ini berfokus pada sifat kesatuan proses psikologis dan sosial, dan saling ketergantungan timbal balik antara lingkungan fungsional pribadi (Kim, 2005). Pandangan ini memperhitungkan faktor-faktor mikro-psikologis dan makro-sosial ke dalam perpaduan teoretis yang dia sebut "integrasi vertikal" (lihat gambar spiral di bawah uraian ini). Pikiran ini sejalan dengan pragmatisme filosofis, termasuk aliran lain, seperti "kontekstualisme", "psikologi-ekologi", dan "psikologi evolusioner" yang tecermin dalam karya-karya Bateson, Ruesch, dan Bateson; Watzlawick Beavin dan Jackson; serta Buss dan Kenrick (Kim, 2005).
c. Adaptasi sebagai fenomena berbasis komunikasi. Seseorang mulai beradaptasi hanya ketika mereka berkomunikasi dengan orang lain dalam lingkungan baru yang dia masuki. Integrasi bergantung pada interaksi dengan masyarakat tuan rumah, dan sejauh mana seseorang beradaptasi, tergantung pada jumlah dan sifat komunikasi dengan anggota masyarakat tuan rumah.
d. Teori ini sebagai sistem deskripsi dan eksplanasi. Teori Kim ini dirancang untuk mengidentifikasi pola-pola budaya yang umumnya hadir dalam serangkaian kasus individual yang terdefinisi dengan jelas, dan menerjemahkan pola-pola tersebut ke delam serangkaian pernyataan yang digeneralisasikan dan saling terkait. Fakta bahwa manusia akan beradaptasi dalam lingkungan baru itu tidak perlu dipertanyakan lagi, melainkan bagaimana dan mengapa individu beradaptasi.
e. Teori ini menghadapkan penalaran deduktif dan induktif. Dalam ranah konseptual, pengembangan logis gagasan Kim dimulai dari serangkaian asumsi dasar tentang adaptasi manusia dan pembuktian empiris dari semua gagasan tersebut berdasarkan bukti literatur yang tersedia dalam ilmu sosial (Kim, 2005). Dalam penelitiannya, Kim memperkenalkan cerita-cerita anekdot dan testimoni para imigran dan pendatang yang dia peroleh dari sumber-sumber, seperti laporan, biografi, surat, buku harian, dialog, komentar, dan bahan-bahan lain dari majalah, koran, buku fiksi dan nonfiksi, program radio, dan program televisi. Semua akun individu ini bukan data ilmiah, namun sangat berfungsi sebagai sumber penting yang menceritakan wawasan pendatang baru ke dalam "pengalaman hidup" adaptasi lintas budaya (Kim, 2005).
f. Konsep-konsep utama dan kondisi yang membatasi. Kim menggunakan dua istilah sentral dalam teori ICT (Integrative Communication Theory), yaitu: (1) adaptasi; dan (2) orang asing (stranger) untuk membantu mendefinisikan teori (Kim, 2005). Hal yang dimaksudkan dengan "orang asing" adalah gabungan semua individu pendatang yang sudah masuk, atau yang sudah masuk kemudian keluar lagi lalu kembali bermukim, dalam lingkungan budaya atau subbudaya baru (Kim, 2005).
Proses Adaptasi Lintas Budaya
Semua manusia dilahirkan dalam lingkungan yang tidak dikenal dan dibesarkan untuk menjadi bagian dari suatu budaya. Proses ini dikenal sebagai enkulturasi, dan mengacu pada organisasi, integrasi, dan perneliharaan lingkungan budaya sendiri. Selama bertahun-tahun telah terjadi pembentukan budaya bersama, telah terjadi perubahan internal dengan meningkatnya interaksi individu dalam lingkungan budayanya. b.
Memasuki Budaya Baru
Transisi budaya individu dari budaya asal ke budaya baru bisa mengejutkan dan konflik internal sering muncul. Individu harus belajar beradaptasi dan rumbuh dalam lingkungan baru karena mereka sering berhadapan dengan situasi baru, situasi yang menantang norma budaya dan pandangan dunia dari budaya asal mereka. Ini adalah proses yang dikenal sebagai akulturasi (Shibutani dan Kwan, 1965). Menurut Kim, ketika terjadi pembelajaran baru atau dekulturasi, pasti ada penghapusan beberapa elemen budaya asal, setidaknya dalam artian bahwa respons terhadap budaya baru diadopsi dalam situasi budaya asal sebelumnya, inikan sama dengan respons telah membangkitkan budaya lama. Individu dipaksa untuk mengembangkan kebiasaan baru, yang mungkin bertentangan dengan kebiasaan yang lama. Kim menyatakan bahwa arah teoretis utama dari perubahan adaptif adalah menuju asimilasi, suatu keadaan konvergensi maksimum yang mungkin berasal dari kondisi internal dan eksternal orang asing yang harus berhadapan dengan kondisi penduduk asli.
Asimilasi adalah proses yang berkelanjutan dan biasanya tidak sepenuhnya tercapai, terlepas dari jumlah waktu yang dihabiskan dalam budaya baru. Teori komunikasi integratif (integrative communication theory) menunjukkan bahwa berbagai tingkat integrasi dalam budaya secara langsung berdampak pada pengalaman individu dalam budaya baru, yang disarankan oleh penelitian lain, seperti Locke. Menurut Don C. Locke, satu perbedaan utama di antara anggota dari berbagai kelompok budaya di Amerika adalah sejauh mana mereka telah membenamkan diri ke dalam budaya AS. Dia menyatakan bahwa anggota kelompok yang beragam secara budaya dapat ditempatkan ke dalam beberapa kategori. Individu-individu bikultural mampu berfungsi secara kompeten dalam budaya dominan sembari tetap berpegang pada manifestasi budaya mereka sendiri. Individu tradisional berpegang pada sebagian besar ciri budaya asal dan menolak banyak sifat budaya dominan. Tipe individu lain adalah mereka yang akan mengakulturasi dan melepaskan sebagian besar ciri-ciri budaya dari budaya asal dan ciri-ciri budaya dominan. Akhirnya, individu marginal merasa tidak cocok dengan budaya asal atau budaya dominan (Locke, 1998).
Gambar 2.1 Model Adaptasi Lintas Budaya dari Kim
Sumber: Kim (2005)
Stres dalam Dinamika Pertumbuhan Adaptasi
Kim telah mengembangkan teori komunikasi integratif adaptasi lintas budaya yang menganggap adaptasi sebagai proses dialektik dari dinamika stres dalam "pertumbuhan-adaptasi". Pertumbuhan ini secara bertahap mengarah pada tingkat kenyamanan fungsional yang lebih besar serta kesehatan psikologis sehubungan dengan lingkungan baru (Kim, 2005). Bagian dari teori Kim ini berfokus pada tekanan, yang mau tidak mau, menyertai gerakan lintas budaya, ketika individu berusaha untuk mempertahankan aspek-aspek budaya lama mereka, dan di saat yang sama, mereka juga berusaha untuk mengintegrasikan budaya asal ke budaya yang baru. Konflik internal yang muncul ini menghasilkan ketidakseimbangan emosi "terendah" dari kebingungan ketidakpastian, dan kecemasan (Gudykunst, 2005).
Dari sinilah setiap orang akan menangani perubahan ini dengan berbagai cara, termasuk penghindaran, penolakan, dan penarikan diri, serta mundur ke kebiasaan yang sudah ada sebelumnya untuk menghilangkan rasa ketidaknyamanan dalam lingkungan baru.
Sementara itu, yang lain mengembangkan kebiasaan baru dan memulai proses adaptasi, memungkinkan mereka meniadi lebih cocok dengan lingkungan mereka sebelumnya. Ini semua terjadi dalam periode perrumbuhan. Dinamika pertumbuhan ini sama dengan dinamika adaptasi stres yang tidak linear, retapi bolak-balik sehingga ada fase regresi demi perkembangan selanjutnya. Di sini, asimilasi dapat didefinisikan sebagai proses di mana seseorang mengambil materi dari lingkungan lalu dimasukkan ke dalam pikiran mereka, artinya seseorang mulai mengubah bukti yang ditangkap indra mereka untuk membuatnya menjadi cocok, sedangkan akomodasi adalah perbedaan konsep yang dibuat oleh pikiran seseorang, inilah yang disebut proses asimilasi (Atherton, 1969).
Struktur Adaptasi Lintas Budaya
Struktur adaptasi lintas budaya ditentukan oleh lima faktor, yaitu: (a) personal communication: host communication competence; (b) host social communication; (c) ethnic social communication; (d) environment; dan (e) predisposition.
Pertama, komunikasi pribadi berkaitan dengan kompetensi budaya komunikasi tuan rumah. Komunikasi adalah prasyarat keberhasilan adaptasi individu ke dalam lingkungan baru. Ini bergantung pada decoding atau kapasitas orang asing untuk menerima dan memproses informasi, serta encoding, atau merancang dan melaksanakan rencana mental dalam memulai atau menanggapi pesan. Ada tiga kategori yang umum dikenal, yaitu sebagai berikut:
1) Kognitif: kemampuan internal seseorang, seperti pengetahuan tentang budaya dan bahasa tuan rumah, sejarah, institusi, pandangan dunia, kepercayaan, norma, dan aturan perilaku antarpersonal.
2) Afektif: kompetensi afektif memfasilitasi adaptasi lintas budaya dengan menyediakan kapasitas motivasi untuk menghadapi berbagal tantangan hidup dalam lingkungan tuan rumah, keterbukaan terhadap pembelajaran baru, dan kesediaan untuk berpartisipasi dalam aspek emosi dan fisik lingkungan tuan rumah (Kim, 2005).
3) Operasional: kompetensi operasional berkaitan dengan aspek-aspek lain dari kompetensi komunikasi tuan rumah yang dapat memfasilitasi orang asing yang secara lahiriah mengekspresikan pengalaman kognitif dan afektif mereka (Kim, 2005).
Kedua, komunikasi sosial dengan tuan rumah (host social communication). Maksudnya adalah para pendatang (orang asing) seharusnya berkomunikasi antarpribadi dengan tuan rumah. Situasi ini dapat membantu orang asing untuk mengamankan informasi penting, juga wawasan "baru" ke dalam pola pikir dan perilaku masyarakat setempat. Partisipasi ini dapat memberikan orang asing tirik referensi bagi perilaku mereka sendiri (Gudykunst, 2005). Sementara itu, komunikasi massa dengan tuan rumah sangat bergantung pada pengintegrasian individu ke dalam situasi budaya tuan rumah melalui media, radio, televisi, dan lain-lain. Semua ini berfungsi sebagai sumber penting pembelajaran budaya dan bahasa tapa sangat bergantung pada partisipasi dan paparan individu (Kim, 2005).
Ketiga, ethnic social communication, pada tahap awal integrasi, komunitas etnis berfungsi bagi orang asing untuk dapat menerima kenyamanan dari budaya mereka sebelumnya, ini sekaligus dapat melayani dan memfasilitasi adaptasi budaya. Setelah fase awal ini, komunikasi sosial etnis memungkinkan individu untuk menjaga koneksi mereka dengan budaya asli mereka.
Keempat, environment, beberapa budaya kelihatannya lebih mudah berasimilasi daripada yang lain, misalnya budaya tuan rumah yang berdampak langsung pada sifat integrasi individu. Beberapa masyarakat menunjukkan lebih banyak keterbukaan dan kehangatan bagi orang luar daripada yang lain. Sejauh mana lingkungan tuan rumah tertentu memberikan daya penerimaan dan kesesuaian pada orang asing, ini juga sangat dipengaruhi oleh kekuatan kelompok etnis pendatang secara keseluruhan, yang dapat memengaruhi lingkungan tuan rumah dan sekitarnya (Kim, 2005).
Environmental Influence:
- Pressure to conform
- Host receptivity
Gambar 2.2 Model Struktur Adaptasi Lintas Budaya dari Kim
Sumber. Kim (2005)
Kelima, predisposition. Individu yang dapat lebih mempersiapkan diri memasuk, lingkungan budaya baru, baik secara fisik dan emosional, tentu saja akan memiliki pengaruh positif terhadap kemampuan mereka untuk transisi. Ini juga memperhitungkan kesiapan mental, emosional, dan motivasi untuk menghadapi lingkungan budaya baru, termasuk pemahaman bahasa dan budaya baru (Kim, 2005). Memiliki pikiran terbuka membantu meringankan beberapa kejutan budaya yang terkait dengan asimilasi ke lingkungan baru.
Model Komunikasi Antarbudaya Collen Ward
Model Colleen Ward
Colleen Ward dan Antony Kennedy (1999) mengemukakan bahwa dalam upaya membawa konsep integrasi ke area penelitian yang difraksinasi, model adaptasi lintas budaya ini diperkenalkan. Model ini mengandung dua domain adaptasi budaya, yaitu: (a) domain psikologis: dan (b) domain sosial-budaya.
Pertama, domain psikologis (emosional/afektif). Adaptasi psikologis didefinisikan sebagai kesejahteraan psikologis dan emosional yang secara luas dipengaruhi oleh kepribadian, perubahan hidup, gaya koping, dan dukungan sosial. Sebagai contoh, adaptasi psikologis dikaitkan dengan fleksibilitas pribadi, locus of control internal, kepuasan hubungan, gaya koping yang berorientasi pada pendekatan, dan penggunaan humor.
Sebaliknya, hambatan psikologis dikaitkan dengan insiden perubahan kehidupan yang tinggi, misalnya kesepian, stres, dan gaya menghindari koping (Berno dan Ward, 1998; Searle dan Ward, 1990; Feinstein dan Ward, 1990; Ward dan Kennedy, 1998a; Ward dan Rana-Deuba, 1999). Adaptasi psikologis ini paling baik dipahami dalam kerangka stres dan Roping (koping adalah mekanisme untuk mengatasi perubahan yang dihadapi atau beban yang diterima tubuh di mana beban tersebut menimbulkan respons tubuh yang sifatnya nonspesifik yaitu stres). Apabila mekanisme koping berhasil, seseorang akan dapat beradaptasi terhadap perubahan atau beban tersebut (Ahyar, 2010). Sementara itu, mekanisme koping adalah cara yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah, misalnya menyesuaikan diri dengan perubahan, serta respons terhadap situasi yang mengancam (Lazarus, 2004).
Gambar 2.3 Model Komunikasi Antarbudaya dari Colleen Ward
Sumber: Colleen Ward dan Antony Kennedy (1999)
Kedua, domain sosiokultural (perilaku). Adaptasi sosial-budaya terkait dengan kemampuan individu "menyesuaikan diri" untuk memperoleh keterampilan yang sesuai dengan budaya baru, termasuk menegosiasikan aspek interaktif dengan lingkungan budaya host. Adaptasi sosiokultural didefinisikan dalam kompetensi perilaku yang lebih kuat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mendasari pembelajaran budaya dan perolehan keterampilan sosial, termasuk misalnya lama tinggal seseorang dalam lingkungan budaya baru, pengetahuan tentang budaya baru, jumlah interaksi dan identifikasi dengan warga negara host, jarak budaya, bahasa, dan strategi akulturasi (Searle dan Ward, 1990; Ward dan Kennedy, 19932, 1994; Ward Jan Seatle, 1991).
Berbagai penelitian untuk mendukung model ini juga meng-ungkapkan bahwa dua hasil adaptasi tersebut di atas menampilkan pola-pola berbeda dari waktu ke waktu. Adaptasi sosiokultural para pendatang dapat diprediksi mengikuti kurva pembelajaran yang meningkat cepat selama beberapa bulan pertama, terutama ketika terjadinya transisi lintas budaya, lalu kemudian secara bertahap mengalami leveling off ketika mereka memperoleh keterampilan budaya spesifik yang baru. Sementara itu, adaptasi psikologis lebih bervariasi dari waktu ke waktu, meskipun penelitian telah memastikan bahwa selalu ada kesulitan terbesar dialami pada tahap awal transisi lintas budaya (Ward dan Kennedy, 1996). Pada akhirnya, konsep pengembangan penyesuaian psikologis dan sosiokultural dari para pendatang bertumpu pada pengukuran hasil adaptasi.
Ward, dkk., juga mengandalkan teknik penilaian psikologis standar untuk pengukuran adaptasi psikologis (The Zung Self-Rating Depression Scale, Zung, 1965). Teknik ini paling sering digunakan karena reliabilitas dan validitas lintas budayanya sudah terdokumentasi secara luas. Para peneliti lain juga memakai skala prole of mood states untuk mengukur adaptasi psikologis (McNair, Lorr, dan Droppleman, 1971). Skala ini selalu digunakan dalam psikologi untuk mengukur gejala klasik dari kejutan budaya, seperti ketegangan, depresi, kemarahan, kelelahan, dan kebingungan. Sementara itu, pengukuran adaptasi sosiokultural dilakukan dengan skala the sociocultural adaptation scale (SCAS, 1990).
Teknik pengukuran SCAS ini pertama kali digunakan oleh Searle dan Ward (1990) dalam studi mereka tentang transisi lintas budaya dan adaptasi siswa Malaysia dan Singapura di Selandia Baru. Riset tersebut, pada akhirnya dapat menjelaskan pengembangan skala dan mendokumentasikan kegunaan dan fleksibilitas pengukuran SCAS. Sifat-sifat psikometrik dari SCAS dilaporkan bersama dengan analisis data dari 16 sampel cross-sectional, 4 sampel longitudinal, dan perbandingan antara satu pasang pendatang dengan mereka yang menetap. Colleen Ward relah bekerja keras untuk menemenemukan dan mempertahankan raliditas skala-skala tersebut. Kemudian, dia menyarankan beberapa kemungkinan untuk mengembangkan atau memperluas skala yang sudah ada, yang lebih valid, mengukur domain adaptasi psikologis, dan sosio-kultural yang berbeda.
Kesimpulan
Teori (integratif) adaptasi lintas budaya (integrative theory of cross-cultural adaptation) diperkenalkan oleh Young Yun Kim. Teori ini menjelaskan proses transformasi budaya yang dialami semua orang pada saat mereka pindah ke lingkungan baru yang budayanya tidak dikenal. Konsep adaptasi lintas budaya mengacu pada proses di mana seseorang mencapai tingkat kenyamanan psikologis dan fungsional dalam lingkungan budaya penerima. Penelitian Kim ini berlaku bagi individu yang memasuki budaya baru untuk jangka waktu yang berbeda, misalnya para pekerja migran, diplomat, para mahasiswa, veteran, dan lain-lain (Kim, 1988, 2001, 2005).
Kim menyatakan bahwa ada lima mata rantai utama yang hilang dalam litcratur adaptasi lintas budaya, yang dia bahas kembali dalam cakupan teorinya, yaitu: c. Adaptasi lintas budaya harus dilihat dalam konteks pembelajaran baru dan pertumbuhan psikologis untuk memberikan interpretasi yang lebih seimbang dan lengkap dari pengalaman individu dalam lingkungan yang tidak dia dikenal. d. Harus ada upaya untuk memilah dan mengonsolidasikan faktor-faktor yang membentuk dan/atau menjelaskan proses adaptasi lintas budaya individu.
Dasar ideologis yang berbeda dari asimilasionalisme dan pluralisme perlu diakui dan dimasukkan ke dalam konsepsi pragmatis adaptasi lintas budaya; soal ini harus dipandang sebagai kondisi lingkungan tuan rumah serta individu yang beradaptasi dengan lingkungan tersebut. Kim (1988) menjelaskan teori integratifnya melalui gambaran tentang adaptasi komunikasi lintas budaya sebagai berikut: Teori komunikasi integratif bersandar pada naluri manusia untuk memperjuangkan keseimbangan ketika mereka bertemu dengan kondisi lingkungan yang berlawanan, seperti yang mereka alami dalam budaya baru. Pengalaman ini tidak terbatas pada satu wilayah saja dan satu kelompok budaya atau bangsa saja, tetapi merupakan konsep universal dari kecenderungan dasar manusia, kecenderungan setiap individu dalam perjuangan menghadapi lingkungan baru dan menantang (Kim, 2005).
Kim menjelaskan bahwa adaptasi lintas budaya sebagai proses multi-stage. Inilah yang membuat teori ini berfokus pada sifat kesatuan proses psikologis dan sosial, dan saling ketergantungan timbal balik antara lingkungan fungsional pribadi (Kim, 2005). Seseorang mulai beradaptasi hanya ketika mereka berkomunikasi dengan orang lain dalam lingkungan baru yang dia masuki. Teori Kim ini dirancang untuk mengidentifikasi pola-pola budaya yang umumnya hadir dalam serangkaian kasus individual yang terdefinisi dengan jelas, dan menerjemahkan pola-pola tersebut ke delam serangkaian pernyataan yang digeneralisasikan dan saling terkait.
Fakta bahwa manusia akan beradaptasi dalam lingkungan baru itu tidak perlu dipertanyakan lagi, melainkan bagaimana dan mengapa individu beradaptasi. Semua akun individu ini bukan data ilmiah, namun sangat berfungsi sebagai sumber penting yang menceritakan wawasan pendatang baru ke dalam "pengalaman hidup" adaptasi lintas budaya (Kim, 2005). Hal yang dimaksudkan dengan "orang asing" adalah gabungan semua individu pendatang yang sudah masuk, atau yang sudah masuk kemudian keluar lagi lalu kembali bermukim, dalam lingkungan budaya atau subbudaya baru (Kim, 2005). Semua manusia dilahirkan dalam lingkungan yang tidak dikenal dan dibesarkan untuk menjadi bagian dari suatu budaya.
Proses ini dikenal sebagai enkulturasi, dan mengacu pada organisasi, integrasi, dan perneliharaan lingkungan budaya sendiri. Individu harus belajar beradaptasi dan rumbuh dalam lingkungan baru karena mereka sering berhadapan dengan situasi baru, situasi yang menantang norma budaya dan pandangan dunia dari budaya asal mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar