Model Iben Jensen
Iben Jensen (1998), dari Departement Ilmu Komunikasi, Universitas Rosklide, Denmark, setelah melakukan penelitian komunikasi antarbudaya pada masyarakat multietnik, kemudian dengan pendekatan pascastrukturalis, menulis laporan berjudul: "The Practice of Intercultural Communication-Reflections for Professionals in Cultural Meetings". Iben mengajukan model sebagai berikut:
Gambar 8.14 Model Komunikasi Antarbudaya dari Iben Jensen Sumber: M.J. Yoshikawa (1987)
Menurut Yoshikawa (1987), yang menguraikan model Jensen, sebetulnya Jensen ingin: (a) memberikan gambaran tentang proses komunikasi antarbudaya di antara dua aktor yang sama-sama bertindak sebagai penutur satu sama lain; (b) menekankan keterhubungan antara para peserta dalam proses komunikasi; dan (3) menunjukkan bahwa proses komunikasi itu tak terbatas, artinya proses yang berkelanjutan. Tujuan model ini adalah untuk membiarkan para praktisi atau ilmuwan berpikir melalui proses komunikasi antarbudaya dan merenungkan hal ini sebagai perspektif baru. Jensen menawarkan model ini setelah melakukan studi tentang komunikasi antarbudaya dalam masyarakat multietnik yang kompleks (Jensen, 1998).
Gambar 8.15 Model Cultural Fix Points dari Iben Jensen Sumber: Iben Jensen (1998/2001)
1. Posisi Pengalaman
Konsep posisi pengalaman mengacu pada fakta bahwa semua interpretasi antarbudaya dibatasi oleh pengalaman individu. Walaupun pengalaman itu bersifat subjektif, pengalaman berkaitan dengan posisi sosial seseorang. Dari perspektif sehari-hari, secara teoretis seperti yang diwakili oleh Berger dan Luckmann (1966), istilah "pengalaman" ini bersifat sentral. Dalam komunikasi antarbudaya, kita harus menghormati bahwa mitra komunikasi kita mungkin memiliki pengalaman dan dia menyosialisasikan pengalaman dia tentang dunia dia secara nyata (Berger dan Luckmann, 1966). Oleh karena itu, kita tidak mungkin mengabaikan pengalaman seseorang. Ini adalah fakta penting dalam komunikasi antarbudaya.
2. Pengandaian Budaya
Pengandaian budaya (cultural presuppositions) mengacu pada pengetahuan, pengalaman, perasaan, dan pendapat yang kita miliki terhadap kategori sejumlah orang yang tidak dianggap sebagai anggota komunitas budaya yang seharusnya diidentifikasikan. Ini juga bagian dari prasangka budaya yang pernah dikemukakan oleh Gadamer (1989). Oleh karena itu, dibutuhkan alat analisis untuk mengetahui sejauh mana seseorang mempunyai pengandaian antarbudaya.
3. Cultural Self-Perception
Cultural self-perception adalah cara di mana seorang aktor mengekspresikan komunitas budayanya seperti dia mengidentifikasikan dirinya sendiri. Jenis persepsi ini berkaitan erat dengan pengandaian budaya (cultural presuppositions) karena melalui konstruksi yang lain, kita membangun narasi tentang diri kita sendiri. Cultural self-perception dapat menunjukkan idealisasi yang sering terjadi saat debat mewakili nilai yang berbeda atau komunitas budaya yang berbeda.
4. Cultural Fix Points
Cultural fix points adalah titik temu budaya dalam situasi antarbudaya, yaitu titik fokus yang muncul dalam komunikasi antara dua aktor dari dua budaya yang berbeda terhadap suatu topik percakapan tertentu. Di sini topik harus dilihat sebagai titik urat budaya yang diperlukan oleh kedua aktor tersebut demi mengidentifikasi topik, kemudian mereka memosisikan diri dalam sebuah diskusi.
Dalam kaitannya dengan komunikasi antarbudaya, tujuan titik temu budaya (cultural fix points) adalah untuk mengidentifikasi beberapa pola dalam konflik yang memiliki karakteristik dalam periode tertentu.
Model Berry
Menurut Sam dan Berry (2010), konsep akulturasi mengacu pada proses perubahan budaya dan psikologis yang dihasilkan setelah pertemuan antarbudaya. Konsep lain yang terkait erat dengan akulturasi adalah adaptasi, yang juga digunakan untuk menjelaskan kesejahteraan psikologis individu, dan bagaimana individu mengelola situasi sosiokultural. Dengan demikian, adaptasi dianggap sebagai konsekuensi dari akulturasi. Sementara itu, strategi akulturasi mengacu pada berbagai cara di mana kelompok dan individu mencari akulturasi (Berry, 1974, 1980). Akulturasi itu menyangkut segala macam perubahan, misalnya perubahan sosial, fisik, dan perubahan psikologis. Berikut Ini adalah pertanyaan sentral yang diajukan oleh Sam dan Berry (2010) sebagaimana dijelaskan dalam beberapa tahapan berikut:
1. Stres dan koping. Akulturasi dapat disamakan dengan serangkaian peristiwa besar kehidupan yang menimbulkan tantangan bagi individu.
2. Pembelajaran budaya. Setiap orang dalam transisi budaya mungkin tidak memiliki keterampilan yang diperlukan untuk terlibat dalam dan dengan budaya baru.
3. Identitas sosial. Bagaimana kelompok dan individu mendefinisikan identitas mereka dalam hubungannya dengan anggota kelompok etnis mereka sendiri (yaitu identitas etnis), di satu sisi, dan masyarakat yang lebih besar di mana mereka melakukan akulturasi.
Ada dua dimensi strategi akulturasi yang melibatkan kelompok dominan dan kelompok tidak dominan (Berry, 1974; Berry 1997) sebagaimana diuraikan sebagai berikut:
Pertama, seseorang dapat mempunyai kemampuan sangat tinggi. untuk menyesuaikan diri ke dalam satu budaya (host atau budaya tuan rumah/budaya dominan atau budaya asli/etnis) atau kedua-duanya (bikultural) atau sama sekali tidak menyesuaikan diri (menjadi marginal).
Kedua, yang penting, menurut Berry, budaya dominan bekerja untuk atau terhadap orang asing/anggota minoritas dengan pendekatan penerimaan. Beberapa budaya mencoba memaksa asimilasi, kebudayaan lain mendorong pluralisme; beberapa orang mungkin memisahkan diri dari minoritas, dan beberapa orang juga berusaha memisahkan diri dari budaya minoritas. Di satu sisi, pendekatan ini mengantisipasi suatu hal yang menurut Melissa Curtin (2010) bahwa kita seharusnya tidak bersikeras dalam beradaptasi.
Gambar 8.16 Model Komunikasi Antarbudaya dari Sam dan Berry Sumber: Sam dan Berry (2010)
Pendapat di atas tampaknya “ateoretis” di mana sudah ada banyak peneliti mencoba memprediksi bagaimana imigran dan pendatang akan menyesuaikan diri dengan pengaruh berbagai variabel. Sejatinya dampak yang tepat dari para imigran dalam beradaptasi akan sangat tergantung pada bagaimana seseorang mendefinisikan adaptasi itu sendiri. Seperti disebutkan di atas, orang mungkin menyesuaikan diri secara psikologis (sangat senang dan nyaman), tetapi tidak menyesuaikan diri dalam hal mengadopsi norma-norma budaya baru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar