1. Model Deardorff
Deardorff menggagas model ini dua kali. Pertama tahun 2004 dan kedua pada tahun 2007. Deardorff (2004) menamakan model ini sebagai model piramida kompetensi antarbudaya. Deardorff (2004), Chen dan Starosta (1999) mendefinisikan kompetensi antarbudaya sebagai kemampuan individu yang secara tepat dan efektif menampilkan perilaku komunikasi dengan menegosiasikan identitas budaya atau menegosiasikan identitas satu sama lain dalam lingkungan beragam - budaya. Model ini menguraikan tiga komponen utama dari kompetensi komunikasi antarbudaya, yaitu: (a) sensitivitas antarbudaya (proses afektif); (b) kesadaran antarbudaya (proses kognitif); dan (c) kecakapan antarbudaya (proses perilaku) yang didefinisikan sebagai keterampilan verbal dan nonverbal yang diperlukan untuk bertindak secara efektif dalam interaksi antarbudaya.
Model piramida Deardorff dinyatakan dalam hipotesis, yaitu tingkat kompetensi antarbudaya tergantung pada tingkatan unsur-unsur yang mendasarinya, khususnya tingkat personal (sikap) hingga tingkat antarpribadi/level interaktif (hasil). Model Deardorff mencakup lima komponen, yaitu: (a) sikap; (b) respek atau rasa hormat; (c) keterbukaan; (d) rasa ingin tahu; dan (e) penemuan. Keterbukaan dan rasa ingin tahu menyiratkan kesediaan mengambil risiko untuk bergerak melampaui zona nyaman, sedangkan respek menunjukkan kepada orang lain bahwa mereka dihargai. Berikut ini penjelasan dari model Deardorff:
1. Pengetahuan, kesadaran cultural self: pengetahuan khusus tentang budaya, pengetahuan budaya yang mendalam (termasuk memahami pandangan dunia, dan kesadaran sosiolinguistik.
2. Keterampilan (menangani perolehan dan pemrosesan pengetahuan): observasi, mendengarkan, mengevaluasi, menganalisis, menafsirkan, dan berelasi.
3. Hasil internal: fleksibilitas, kemampuan beradaptasi, memakai perspektif etnorelatif dan empati. Jika tercapai, individu dapat melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain dan menanggapi mereka sesuai dengan cara mereka ingin diperlakukan.
4. Hasil eksternal: perilaku dan komunikasi yang efektif dan tepat dalam situasi antarbudaya.
Keempat dimensi tersebut di atas saling tergantung satu sama lain. Hasil eksternal yang diinginkan bergantung pada hasil internal yang diinginkan dan hasil akhir juga sangat bergantung pada keterampilan dan pengetahuan karena keterampilan dan pengetahuan membutuhkan sikap yang diperlukan.
Gambar 8.11 Model Komunikasi Antarbudaya dari Deardorff Sumber: D. Deardorff (2009).
Deardorff membarui model tersebut di atas pada tahun 2006. Model ini mengisyaratkan bahwa proses pembentukan kompetensi komunikasi antarbudaya dimulai dari level personal agar individu dapat memperoleh relasi antarpersonal yang interaktif. Isyarat lain dari model ini bahwa untuk mendapatkan kompetensi komunikasi antarbudaya yang baik, individu sedapat mungkin memenuhi syarat dari pelbagai elemen yang telah digariskan:
1. Pertama, jika kita bergerak dari tahapan dasar piramida, pada tahap awal, dua pihak sedapat mungkin menunjukkan sikap positif antarbudaya yang menunjukkan:
a. Respek terhadap nilai budaya orang lain dan respek terhadap keberagaman.
b. Keterbukaan, berkaitan dengan kemampuan individu untuk mendengarkan seseorang dari budaya lain dengan penuh rasa hormat, diiringi oleh hasrat untuk menghalau sikap mendua dalam toleransi atau sikap seseorang ketika menghadapi situasi yang tidak pasti.
2. Tahap berikutnya adalah individu yang mempunyai pengetahuan lengkap akan dapat menampilkan keterampilan komunikasi antarbudaya yang sesuai. Oleh karena itu, setiap individu perlu memiliki:
a. Kelengkapan pengetahuan antarbudaya yang diawali dengan kesadaran diri (self awareness) tentang budaya sendiri dan budaya orang lain, misalnya sadar tentang konsep, peran, dan dampak budaya yang diakibatkan oleh perbedaan pandangan, memahami informasi khusus tentang budaya orang lain, dan kesadaran tentang sosiolinguistik.
b. Keterampilan mendengarkan, mengamati, menginterpretasi, menganalisis, mengevaluasi, dan membangun relasi dengan orang lain.
3. Pada tahapan ini, dua pihak sama-sama tertarik pada hasil internal yang akan dicapai. Dua pihak mengawali komunikasi antarbudaya dengan memberikan informasi awal tentang perbedaan bingkai pengalaman masing-masing. Paling tidak ada tiga hal yang perlu diperhatikan, yaitu:
a. Luwes terhadap perbedaan pengetahuan antarbudaya.
b. Luwes memilih gaya dan perilaku komunikasi memiliki ketepatan dan kejelasan.
c. Ento-korelatif, memperluas pandangan tentang hubungan antaretnis.
d. Empati dengan membangun sikap empati antarbudaya.
4. Pada tahapan terakhir ini dua pihak sama-sama tertarik terhadap hasil eksternal yang akan mereka capai. Untuk itu, mereka akan berkomunikasi secara efektif, terampil, tepat, dan jelas berdasarkan pengetahuan tentang budaya orang lain. Akibatnya mereka dapat mencapai kesadaran, pemahaman, dan penerimaan perbedaan pada tingkatan tertentu.
2. Model Kupka dan Everett
Model proses komunikasi antarbudaya ini diperkenalkan oleh Kupka dan Everett (2008) yang mereka sebut sebagai "model pelangi". Model ini menampilkan sepuluh komponen kompetensi antarbudaya, yaitu: (a) kompetensi bahasa asing; (b) jarak budaya; (c) kesadaran diri; (d) pengetahuan; (e) keterampilan; (f) motivasi; (g) kesesuaian; (h) efektivitas; (i) interaksi kontekstual; dan (10) afinitas antarbudaya.
Landasan teoretis untuk membangun model pelangi ini terdiri atas enam teori utama, yaitu: (a) teori sistem; (b) teori konstruksi realitas sosial; (c) teori belajar sosial; (d) teori identitas budaya; (e) teori manajemen identitas; dan (f) teori pengurangan kecemasan dan manajemen ketidakpastian. Berdasarkan enam teori inilah Kupka dan Everett membangun Intercultural Communication Competence Inventory (ICCI) yang dikenal sebagai model pelangi.
Gambar 8.13 Model Komunikasi Antarbudaya dari Kupka dan Everett Sumber: B.H. Spitzberg dan W.R. Cupach (1984)
Model pelangi ini merupakan respons terhadap kebutuhan perlunya penilaian yang lebih komprehensif terhadap kompetensi antarbudaya melalui integrasi dari berbagai perspektif. Model penilaian yang berbasis ICCI ini dapat digunakan untuk menguji kemampuan diri sendiri dan orang lain. Model ini sangat bermanfaat dalam pelatihan organisasi.
Model pelangi ini menggabungkan: (a) kompetensi bahasa asing; (b) jarak budaya; (c) kesadaran diri; (d) pengetahuan; (e) keterampilan; (f) motivasi; (g) kesesuaian; (h) efektivitas; (i) hubungan kontekstual, dan (j) afinitas budaya. Kita akan membahas secara singkat sifat sepuluh elemen yang saling terkait satu sama lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar