Sabtu, 17 Desember 2022

MODEL MODEL KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA MENURUT HAMMER, THOMAS & KILMAN, TING TOOMEY

 Komunikasi Antar Budaya Menurut Hammer

Perintis yang penting kepada kompetensi budaya ialah sensitiviti antara Budaya Menurut Hammer, sensitiviti terhadap budaya yang tinggi adalah berkaitan dengan potensi yang tinggi untuk penerapan kompetensi Budaya. Sensitiviti antara budaya merujuk kepada keupayaan untuk mendiskriminasi dan melalui pengalaman yang relevan terhadap perbedaan Budaya

Etnosentrisme merujuk kepada padangan atau sikap yang percaya bahawa budaya etnik sendiri lebih unggul daripada budaya etnik lain. Etnorelativisme pula merujuk kepada padangan atau sikap yang percaya bahawa budaya etnik sendiri tidak semestinya unggul atau mutlak, tetapi berbeza antara individu atau Budaya.

            Salah satu studi yang pernah dilakukan Hammer menetapan tiga tema sentral efektivitas komunikasi, yaitu: a) Keterampilan berkomunikasi b) Kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan tekanan antarbudaya c) Kemampuan untuk membangun relasi-relasi antarbudaya

Komunikasi antarbudaya merupakan salah satu kajian ilmu komunikasi. Hammer mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya telah memenuhi syarat untuk dijadikan sebagai salah satu kajian dalam ilmu komunikasi. Hal ini dikarenakan sebagai berikut: a. Secara teoritis memindahkan fokus dari satu kebudayaan kepada kebudayaan yang dibandingkan. b. Membawa konsep aras makro kebudayaan ke aras mikro kebudayaan. c. Menghubungkan kebudayaan dengan proses komunikasi.

Hammer menggunakan uncertainty sebagai ketidakmampuan untuk memprediksi atau menjelaskan perilaku orang lain, perasaan, sikap atau nilai-nilai dan anxiety adalah perasaan tidak nyaman, tegang, gelisah atau cemas. Kedua hal ini digunakan untuk menjelaskan hubungan antarbudaya.

Hammer berfokus tentang bagaimana pengelolaan/manajemen yang dilakukan seseorang untuk mengurangi kecemasan (anxiety) dan ketidakpastian (uncertainty) yang dialami ketika berhadapan dengan budaya barunya. Uncertainty sebagai ketidakmampuan untuk memprediksi atau menjelaskan perilaku orang lain, perasaan, sikap atau nilai-nilai dan anxiety adalah perasaan tidak nyaman, tegang, gelisah atau cemas.

 

Gaya Manajemen Konflik Menurut Thomas & Kilmann

        Thomas & Kilman dalam buku Wirawan (2013:140) menerangkan 5 jenis gaya manajemen konflik diantaranya: Kompetisi (competing). Gaya manajemen konflik dengan tingkat keserifan tinggi dan tingkat kerja sama rendah. Gaya ini merupakan gaya yang berorientasi pada kekuasaan, di mana seseorang akan menggunakan kekuasaan yang dimilikinya untuk memenangkan konflik dengan biaya lawannya.

Kolaborasi (collaborating). Gaya manajemen konflik dengan tingkat keasertifan dan kerja sama yang tinggi. Tujuannya adalah untuk mencari alternatif, dasar bersama, dan sepenuhnya memenuhi harapan kedua belah pihak yang terlibat konflik.gaya manajemen konflik kolaborasi merupakan upaya bernegosiasi untuk menciptakan solusi yang sepenuhnya memuaskan pihak-pihak yang terlibat konflik. upaya tersebut sering meliputi saling memahami permasalahan konflik atau saling mempelajari ketidaksepakatan. Selain itu, kreativitas dan inovasi juga digunakan untuk mencari alternatif yang dapat diterima oleh kedua belah pihak.

Kompromi (compromising). Gaya manajemen konflik kompromi berada di tengah antara gaya kompetisi dan gaya kolaborasi. Dalam keadaan tertentu, kompromi dapat berarti membagi perbedaan di antara dua posisi dan memberikan konsensi untuk mencari titik tengah. Dalam menggunakan gaya manajemen kompromi ini, diperlukannya keterampilan dalam penggunaannya. Dimana keterampilan yang harus dimiliki yaitu kemampuan bernegosiasi, mendengarkan dengan baik yang dikemukakan oleh lawan konflik, mengevaluasi nilai, menemukan jalan tengah, dan memberi konsensi. Dengan demikian konflik yang terjadi dapat ditekan dan tidak menimbulkan konflik yang baru.

Berikut adalah alasan pihak yang terlibat konflik menggunakan gaya manajemen konflik kompromi: Pentingnya tujuan koflik hanya sedang dan tidak cukup bernilai untuk dipertahankan dengan menggunakan gaya manajemen konflik kompetisi atau kolaborasi. Akan tetapi, konflik juga terlalu penting untuk dihindari, Kedua belah pihak mempunyai kekuasaan dan konflik yang sama, serta mempunyai tujuan yang hamper sama, Untuk mencapai solusi sementara atas masalah yang kompleks. Menghindar (avoiding).

Gaya manajemen konflik dengan tingkat keasertifan dan kerja sama yang rendah. Dalam gaya manajemen konflik ini kedua belah pihak yang terlibat konflik berusaha menghindari konflik. Menurut Thomas dan Klimann bebtuk menghindar tersebut bisa berupa: (a) menjauhkn diri dari pokok masalah; (b) menunda pokok masalah hingga waktu yang tepat; atau (c) menarik diri dari konflik yang mengancam dan merugikan. Mengakomodasi (accommodating). Gaya manajemen konflik dengan tingkat keasertifan rendah dan tingkat kerja sama tinggi. Seseorang mengabaikan kepentingan dirinya sendiri berupaya memuaskan kepentingan lawan konfliknya

Kesimpulan

        sensitif terhadap budaya yang tinggi memiliki potensi yang tinggi terhadap penerapan kompetensi budaya lain dan hal tersebut merujuk kepada upaya untuk mendiskriminasikan terhadapap perbedaan budaya termaksud seperti etnosentrisme yang merujuk kepada pandangan atau sikap yang percaya bahwa budaya etnik sendiri lebih unggul daripada budaya etnik lain.

serta untuk mengatur itu semua terdapat gaya manajemen konflik untuk mengontrol disetiap konflik yang terjadi seperti contohnya menjauhkan diri dari pokok masalah, menunggu pada pokok masalah yang tepat,menarik diri dari konflik yang mengancam dan merugikan.

 


Model Komunikasi AntarBudaya Menurut Stella Ting-Toomey

Manusia dapat mengalami ekspresi wajah tertentu secara sengaja, tetapi umunya ekpresi wajah dialami secara tidak sengaja akibat perasaan dan emosi manusia tersebut. Misalnya seseorang yang menyembunyikan perasaan bencinya terhadap seseorang, pada saat tertentu tanpa sengaja akan menujukkan perasaanya tersebut melalui ekpresi wajahnya atau facework, walaupun ia berusaha menunjukkan perasaanya tersebut diwajahnya, dan berusaha menunjukkan ekpresi netral. Tersenyum juga dapat mempengaruhi situasi normal untuk dapat menghindari kesalahpahaman. Menurut Ekman (1982) ekpresi wajah utama adalah mereka untuk kebahagian, terkejut, takut, sedih, marah dan penghinaan. Ekpresi wajah merupakan sumber penting dari umpan balik dalam proses komunikasi antarpribadi yang menunjukkan bagiamana orang lain bisa merespon pesan yang disampaikan dengan Wajah mengacu pada gambar diri seseorang di hadapan orang lain. Wajah merupakan gambaran yang diinginkan seseorang sebagai jati dirinya dalam sebuah situasi sosial. Teori Negosiasi Wajah (FaceNegotiation Theory) dikembangkan oleh Stella Ting-Toomey pada tahun 1988. Teori ini memberikan sebuah dasar untuk memperkirakan bagaimana manusia akan menyelesaikan karya wajah dalam sebuah kebudayaan yang berbeda. 

Face-negotiation theory

Face-negotiation theory adalah teori pertama diusulkan oleh Brown dan Levinson (1978) untuk memahami bagaimana orang-orang dari budaya yang berbeda mengelola hubungan dan perbedaan pendapat. Teori ini berpendapat "wajah", atau citra diri, sebagai fenomena universal yang meliputi seluruh budaya. Dalam konflik, wajah seseorang yang terancam, cenderung menyimpan atau mengembalikan wajahnya. Setiap perilaku komunikatif ini, menurut teori ini, yang disebut "facework". Sejak orang-orang memaknai "wajah" dan memberlakukan "facework" berbeda dari satu budaya ke yang berikutnya, teori ini menimbulkan kerangka budaya yang umum untuk memeriksa negosiasi facework.

Teori Negosiasi Wajah (FaceNegotiation Theory) dikembangkan oleh Stella Ting-Toomey pada tahun 1988. Teori ini memberikan sebuah dasar untuk memperkirakan bagaimana manusia akan menyelesaikan karya wajah dalam sebuah kebudayaan yang berbeda. Wajah atau rupa mengacu pada gambar diri seseorang di hadapan orang lain. Hal ini melibatkan rasa hormat, kehormatan, status, koneksi, kesetiaan dan nilai-nilai lain yang serupa. Dengan kata lain rupa merupakan gambaran yang anda inginkan atau jati diri orang lain yang berasal dari anda dalam sebuah situasi sosial. Karya wajah adalah perilaku komunikasi manusia yang digunakan untuk membangun dan melindungi rupa mereka serta untuk melindungi, membangun dan mengancam wajah orang lain. Teori ini merupakan teori gabungan antara penelitian komunikasi lintas budaya, konflik, dan kesantunan. Teori negosiasi wajah sendiri memiliki daya tarik dan penerapan lintas budaya karena Stella Ting-Toomey pencetus teori ini berfokus pada sejumlah populasi budaya, termasuk Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Cina dan Amerika Serikat. Ting-Toomy menjelaskan bahwa budaya memberi bingkai interpretasi yang lebih besar di mana wajah dan gaya konflik dapat diekspresikan dan dipertahankan secara bermakna. Penulis telah meneliti antar etnik batak dan minang kerap terjadi konflik diantara dua etnik ini dengan ciri khas ekspresi masingmasing tiap etnik, akan timbul konflik jika tidak dapat mengekspresikan wajah saat berinteraksi.




  Knowledge Dimension

a)     Menurut Ting-Toomey dan Oetzel (2001), pengetahuan ditentukan oleh sejauh mana seseorang mengembangkan pemahaman yang mendalam tentang konsep-konsep penting komunikasi antarbudaya sehigga dia dapat menjadi seorang yang berkompeten membantu pengelolaan konflik berbasis budaya.

b)     Pengetahuan tentang kepekaan budaya yang memungkinkan dia mendorong para pihak yang berselisih atau terlibat dalam konflik antarbudaya. Dia juga dapat mengungkapkan lens etnosentris yang dipakai oleh orang-orang yang terlibat konflik agar mereka dapatGilirannya membentuk perspektif akurat, yang pada Membingkai ulang situasi konflik dari sudut pandang budaya pihak lain. Ini berarti kita membutuhkan seseorang yang paham tentang fitur situasional, seperti etnosentrisme dan prasangka, yang dianggap memengaruhi anggota budaya yang berbeda dapat menangani konflik.

c)     Terhadap nilai-nilai budaya dan hasil konflik, secara umum, individualis peduli terhadap penyelesaian konflik, sementara kolektivis peduli dengan masalah manajemen proses terjadinya konflik.

d)     Mengenai power distance cultures and conflict outcomes, dalam budaya dengan jarak kekuasaan kecil, individu harus belajar memberdayakan diri agar bersikap tegas dalam mengelola konflik secara konstruktif. Sebaliknya, dalam budaya dengan jarak kekuasaan besar, individu harus belajar menggunakan jaringan pribadi dan sosial mereka secara tepat untuk mengelola konflik secara produktif.

  Mindfulness Dimension

a)     Mindfulness: merupakan cara spiritual, meditatif, reflektif, psikologis, dan terapan untuk hidup dan berkomunikasi secara terencana. Stella Ting-Toomey mengutip praktik spiritual Buddhis Timur itu ke dalam FNT. la mengatakan bahwa mindfulness berkaitan dengan bagaimana individu memperhatikan asumsi internal orang lain yang mendorong timbulnya emosi, niat, kognisi, sikap, dan perilaku. Refleksivitas yang penh perhatian tersebut menuntut individu untuk menyesuaikan diri dengan asumsi budaya dan kebiasaan pribadi kita sendiri dalam memindai adegan komunikasi. Ini juga berarti kita "mengosongkan pola pikir kita" dari kekacauan suara- suara internal agar kita dapat mendengarkan orang lain dengan hati yang murni (Ting-Toomey, 1999). Mindfulness memiliki empat komponen utama, yaitu regulasi perhatian, kesadaran tubuh, regulasi emosi, dan perubahan perspektif diri (Holzel, et al., 2011). 

b)     Mindful reflexivity: kita merefleksikan dir kita untuk sepenuhnya sadar dan memahami budaya dan pribadi orang lain yang terlibat dalam situasi konflik. Dari sini kita akan lebih sadar ketika kita melibatkan diri dan memahami perbedaan antarbudaya, melihat perilaku orang dari budaya lain yang kita temui dari perspektif non-judgmental atau tidak menghakimi orang lain. Meskipun ini tidak mudah dilakukan, kita perl memperhatikan dan memahami berbagai faktor budaya dan situasional yang berperan dalam episode konflik. Kita perlu mengintegrasikan ide-ide baru dan/atau memperluas berbagai perspektif yang hail akhirnya bisa berupa pengembangan pribadi, relasional, keluarga, dan organisasi.

c)     Mindfulness is analytical: satu hal lain yang harus kita latih adalah kita harus menjadi praktis dalam mindfulness. Kita harus memiliki analytical empathy yang dalam. Cara sistematis memosisikan diri kita untuk melihat dan mengalami peristiwa konflik dari pandangan pihak lain sehingga kita mendapatkan wawasan alternatif dalam mendekati masalah (Rothman, 1997). Tujuannya adalah agar kita dapat mempraktikkan perspektif konflik yang bijaksana, yang mendorong dialog kolaboratif.

 Constructive Conflict Skills Dimension 

Konsep ini mengacu pada kemampuan operasional kita untuk mengelola situasi konflik antarbudaya secara tepat, efektif, memuaskan, dan produktif. Komunikator konflik yang konstruktif menggunakan keterampilan interaksi yang peka budaya untuk mengelola proses konflik secara adaptif dan mencapai tujuan penting bagi semua pihak secara damai. Ting-Toomey dan Oetzel (2001) mengemukakan sepuluh inti keterampilan konflik konstruktif yang sangat penting dalam situasi konflik antarbudaya hal apa pun, yaitu sebagai berikut:

a)     Mindful observation: melalui analisis O-D-I-S (Observe-Describe- Interpret-Suspend Evaluation), kita belajar mengamati sinyal verbal dan nonverbal dengan saksama dalam proses konflik. Kemudian, kita harus menggambarkan secara mental dalam istilah spesifik perilaku apa yang terjadi dalam interaksi konflik. Selanjutnya, kita harus menghasilkan banyak interpretasi untuk memahami perilaku yang kita amati dan menggambarkan perilaku tersebut, akhirnya kita dapat memutuskan untuk menghargai perbedaan dan menunda evaluasi etnosentris kita.

b)     Mindful listening atau mendengarkan dengan penuh perhatian: ketika para pihak mendengarkan informasi bar dalam negosiasi konflik, para pihak harus belajar mendengarkan dengan penh perhatian satu sama lain, bahkan ketika mereka tidak setuju sekalipun. Dalam harus situasi konflik antarbudaya, pihak-pihak yang tidak setuju asumsi belajar mendengarkan dengan penh perhatian semua Mereka harus belajar budaya yang diungkapkan dalam interaksi. mendengarkan secara responsif atau 'ting'-bahasa Cina untuk "mendengarkan"-memperhatikan dengan cermat dengan telinga, mata, dan hati kita pada bunyi, nada, gerak tubuh, gestur, nuansa nonverbal, jeda, dan diam dalam situasi tertentu.

c)     Mindful reframing: pembingkaian kembali setiap informasi dengan penuh kesadaran bahwa, baik individualis maupun kolektivis perlu belajar bagaimana "menerjemahkan" pesan verbal dan nonverbal pihak lain dari konteks sudut pandang budaya pihak lain. Membingkai lang juga berarti pihak-pihak yang berkonflik perl memprioritaskan ulang tujuan mereka setelah dengan cermat mengamati dan mendengarkan sudut pandang dan harapan dari lawan konflik mereka. Misalnya, setelah mendengarkan keluhan dari seorang kolektivis, maka seorang individualis mungkin menyadari bahwa gesekan tidak terletak pada masalah tujuan konten, tetapi pada masalah penghormatan/penghinaan identitas. Sebaliknya, setelah memahami keluhan dari seorang individualis, seorang kolektivis mungkin menyadari/bahwa seorang individualis benar- benar menginginkan penyelesaian solusi dan sama sekali tidak mencoba untuk "sedikit" mencoreng citra wajah kolektivis. Kedua pihak juga harus ingat bahwa banyak dari konflik antarpersonal didasarkan pada kebiasaan budaya dan skrip yang tidak disadari.

d)     Identity validation: terjadi ketika: (1) kita menyapa orang dengan label, nama, dan identitas yang mereka inginkan; (2) menggunakan bahasa situasional yang mencakup anggota bahasa inklusif dan ingroup menolak wacana khusus yang dan outgroup; dan (3) mengenali berbagai wacana dan berhadapan dengan perbedaan, interpretasi realitas, menolak pandangan kelompok dominan, dan menantang pandangan stereotip dari kelompok dominan.

e)     Facework management: melibatkan pelestarian atau perlindungan identitas komunikasi kita sendiri selama episode konflik, pada saat bersamaan kita berurusan dengan identitas komunikasi pihak lain. Semua ini dapat dirangkum dengan konsep 'facework'. Berarti kita tidak boleh mempermalukan orang lain, terutama terhadap lawan konflik di depan umum.

f)      Productive power balancing: hubungan para pihak dalam episode mana satu pihak tergantung konflik, yang berkaitan dengan sejauh pada yang lain untuk pencapaian tujuan apa pun. Artinya, kita harus dapat memakai kekuasaan secara positif untuk memelihara hubungan para pihak dengan sungguh-sungguh, melalui men- dengarkan keprihatinan, kebutuhan, harapan, dan keinginan pihak lain.

g)     Collaborative dialogue: upaya untuk menemukan titik temu, berbagi kekuasaan secara produktif. Keterampilan pengamatan yang cermat, mendengarkan demi terlaksananya proses dialog kolaboratif.

h)     Problem-solving skills: keterampilan yang berkaitan dengan pemecahan masalah. Dalam fase diferensiasi, tim penyelesaian konflik mengklarifikasi posisi dan tujuan kontras dari konflik, lalu mendengarkan alasan mendasar tentang perbedaan budaya.

i)      Transcendent discourse: ketika konflik antarbudaya melibatkan masalah kekuasaan dan identitas yang mengakibatkan konflik moral tetap tidak terselesaikan. Litlejohn (195) mengadvokasi penggunaan wacana transenden yang menyediakan cara shat di mana perbedaan dapat diungkapkan, memungkinkan semua suara didengar dengan menghormati, dan menghindari pola negatif yang sering dikaitkan dengan bentrokan moral.

j)      Interaction adaptability: kemampuan untuk mengubah tujuan dan perilaku konflik demi memenuhi kebutuhan spesifik dari situasi (Duran, 1985). Ini menandakan bahwa kesadaran penuh perhatian akan perspektif, minat, tujuan, atau ketiganya, dan keinginan untuk memodifikasi minat atau tujuan untuk beradaptasi dengan situasi konflik.

 

Contoh Face Negotiation Theory

Menurut Stella Ting-Toomey “Orang menghadapi situasi konflik akan berbeda dari budaya individualis dan budaya kolektivis. Ketika orang biasa di AS, respons terhadap konflik akan mempertahankan diri dan mendominasi. Sementara bagi seseorang yang telah bermigrasi dari budaya kolektif seperti Cina, Korea Selatan, Jepang dan Taiwan, responnya mencerminkan budayanya (budaya kolektif) untuk menghindari konflik atau tunduk pada situasi.

Ada perceraian pasangan menikah yang menjadi alot karena perebutan hak asuh anak. Sang ayah yang berlatar belakang batak memiliki watak keras tidak mau mengalah dan sangat kekeuh untuk mendapatkan kemenangan. Sang ibu yang memiliki latar belakang jawa sangat memperhatikan perasaan dan pendapat orang lain, memiliki tempramen yang kalem dan berpikiran tenang. Terjadilah perdebatan, saling melontarkan argumen di dalam ruang sidang. Sang hakim yang menangani kasus ini melihat dari cara bagaiamana sang ayah dan sang ibu menyelesaikan persoalan di ruang sidang dan mengambil keputusan bahwa hak asuh anak jatuh ke tangan sang ibu.

      
Kesimpulan
    
    Apa yang kita dapat simpulkan dari dua model terakhir ini (model Thomas dan Kilmann, Hammer, dan Ting-Toomey)? Meskipun hanya sedikit dari banyak peneliti yang telah mengeksplorasi kompleksitas konflik antarbudaya, ini juga merupakan topik yang menarik bagi sosiolog, psikolog, manajer bisnis, antropolog, dan ahli bahasa.
    
    Dengan memperoleh pengetahuan tentang gaya konflik pribadi dan antarbudaya, kita terbantu untuk mempertahankan kesadaran dan perhatian kita secara penuh ketika berinteraksi dengan orang-orang dari budaya lain. Apakah kita menganggap diri kita "akomodator" atau "penghindar" ketika menggunakan gaya dinamis atau diskusi; ataukah kita dapat mengidentifikasi dengan pendekatan Timur atau Barat apa pun terhadap konflik, atau kita dapat berlatih mendengarkan dengan cermat dan membingkai ulang cara kita menyelesaikan atau mengubah konflik menjadi dialog yang bermakna? Hal yang pasti adalah gaya konflik antarbudaya: (a) bervariasi, tergantung pada individu, dan sejauh mana individu sering dipengaruhi oleh budaya; (b) bervariasi dalam tingkat keterusterangan dan emosi yang diungkapkan; dan (c) atau sering muncul ketika seseorang merasa bahwa identitas/gambarnya, atau wajahnya, telah dikompromikan dengan gaya konflik konstruktif yang melibatkan pengembangan keterampilan untuk meningkatkan kemampuan kita bekerja dalam situasi konflik lintas budaya.

Kamis, 15 Desember 2022

MODEL MODEL KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA YOUNG YUN KIM, WARD DKK

Model Young Yun Kim

Teori (integratif) adaptasi lintas budaya (integrative theory of cross-cultural adaptation) diperkenalkan oleh Young Yun Kim. Teori ini menjelaskan proses transformasi budaya yang dialami semua orang pada saat mereka pindah ke lingkungan baru yang budayanya tidak dikenal. Konsep adaptasi lintas budaya mengacu pada proses di mana seseorang mencapai tingkat kenyamanan psikologis dan fungsional dalam lingkungan budaya penerima. Ketika individu memperoleh beberapa karakteristik budaya tuan rumah, dia mungkin kehilangan beberapa karakteristik budaya asalnya, seperti bahasa, adat istiadat, dan semua identitas budaya asli yang kaku. Kim berpendapat bahwa inilah proses awal terjadinya transformasi budaya, sebagai transformasi identitas antarbudaya sehingga "pendatang" mulai merasa kurang terikat dengan identitas kelompok asalnya. Penelitian Kim ini berlaku bagi individu yang memasuki budaya baru untuk jangka waktu yang berbeda, misalnya para pekerja migran, diplomat, para mahasiswa, veteran, dan lain-lain (Kim, 1988, 2001, 2005).

Investigasi Teoretis,Penelitian Kim mengenai adaptasi lintas budaya dimulai pada tahun 1970-an melalui survei terhadap para imigran Korea di wilayah Chicago. Kemudian, diperluas untuk mempelajari kelompok-kelompok imigran dan pengungsi lainnya di Amerika Serikat seperti orang-orang Indian-Amerika, Jepang dan Meksiko-Amerika, dan para pengungsi Asia Tenggara. Selain mempelajari kelompok-kelompok imigran, Young Yun Kim meneliti kelompok-kelompok siswa yang belajar di luar negeri di AS, serta siswa internasional di Jepang, ekspatriat Korea di AS dan ekspatriat Amerika di Korea Selatan. Garis besar pertama teorinya ditemukan dalam sebuah artikel berjudul "Toward an Interactive Theory of Communication-Acculturation", yang kemudian disajikan lengkap dalam teori Communication and Cross-Cultural Adaptation: An Integrative Theory (Kim, 1988), yang disempurnakan lagi dalam Becoming Intercultural: An Integrative Theory of Communication and Cross-Cultural Adaptation (Kim, 2001).

Kim menyatakan bahwa ada lima mata rantai utama yang hilang dalam litcratur adaptasi lintas budaya, yang dia bahas kembali dalam cakupan teorinya, yaitu:

a. Kurangnya perhatian pada faktor-faktor tingkat makro, seperti pola budaya dan kelembagaan dari lingkungan tuan rumah.

b. Perlu mengintegrasikan area penyelidikan tradisional secara terpisah untuk mengetahui adaptasi jangka panjang dan jangka pendek.

c. Adaptasi lintas budaya harus dilihat dalam konteks pembelajaran baru dan pertumbuhan psikologis untuk memberikan interpretasi yang lebih seimbang dan lengkap dari pengalaman individu dalam lingkungan yang tidak dia dikenal.

d. Harus ada upaya untuk memilah dan mengonsolidasikan faktor-faktor yang membentuk dan/atau menjelaskan proses adaptasi lintas budaya individu.

e. Dasar ideologis yang berbeda dari asimilasionalisme dan pluralisme perlu diakui dan dimasukkan ke dalam konsepsi pragmatis adaptasi lintas budaya; soal ini harus dipandang sebagai kondisi lingkungan tuan rumah serta individu yang beradaptasi dengan lingkungan tersebut.

Kim (1988) menjelaskan teori integratifnya melalui gambaran tentang adaptasi komunikasi lintas budaya sebagai berikut:

a. Adaptasi sebagai fenomena alamiah dan universal. Teori komunikasi integratif bersandar pada naluri manusia untuk memperjuangkan keseimbangan ketika mereka bertemu dengan kondisi lingkungan yang berlawanan, seperti yang mereka alami dalam budaya baru. Pengalaman ini tidak terbatas pada satu wilayah saja dan satu kelompok budaya atau bangsa saja, tetapi merupakan konsep universal dari kecenderungan dasar manusia, kecenderungan setiap individu dalam perjuangan menghadapi lingkungan baru dan menantang (Kim, 2005).

b. Adaptasi sebagai fenomena yang mencakup semua. Kim menjelaskan bahwa adaptasi lintas budaya sebagai proses multi-stage. Inilah yang membuat teori ini berfokus pada sifat kesatuan proses psikologis dan sosial, dan saling ketergantungan timbal balik antara lingkungan fungsional pribadi (Kim, 2005). Pandangan ini memperhitungkan faktor-faktor mikro-psikologis dan makro-sosial ke dalam perpaduan teoretis yang dia sebut "integrasi vertikal" (lihat gambar spiral di bawah uraian ini). Pikiran ini sejalan dengan pragmatisme filosofis, termasuk aliran lain, seperti "kontekstualisme", "psikologi-ekologi", dan "psikologi evolusioner" yang tecermin dalam karya-karya Bateson, Ruesch, dan Bateson; Watzlawick Beavin dan Jackson; serta Buss dan Kenrick (Kim, 2005).

c. Adaptasi sebagai fenomena berbasis komunikasi. Seseorang mulai beradaptasi hanya ketika mereka berkomunikasi dengan orang lain dalam lingkungan baru yang dia masuki. Integrasi bergantung pada interaksi dengan masyarakat tuan rumah, dan sejauh mana seseorang beradaptasi, tergantung pada jumlah dan sifat komunikasi dengan anggota masyarakat tuan rumah.

d. Teori ini sebagai sistem deskripsi dan eksplanasi. Teori Kim ini dirancang untuk mengidentifikasi pola-pola budaya yang umumnya hadir dalam serangkaian kasus individual yang terdefinisi dengan jelas, dan menerjemahkan pola-pola tersebut ke delam serangkaian pernyataan yang digeneralisasikan dan saling terkait. Fakta bahwa manusia akan beradaptasi dalam lingkungan baru itu tidak perlu dipertanyakan lagi, melainkan bagaimana dan mengapa individu beradaptasi.

e. Teori ini menghadapkan penalaran deduktif dan induktif. Dalam ranah konseptual, pengembangan logis gagasan Kim dimulai dari serangkaian asumsi dasar tentang adaptasi manusia dan pembuktian empiris dari semua gagasan tersebut berdasarkan bukti literatur yang tersedia dalam ilmu sosial (Kim, 2005). Dalam penelitiannya, Kim memperkenalkan cerita-cerita anekdot dan testimoni para imigran dan pendatang yang dia peroleh dari sumber-sumber, seperti laporan, biografi, surat, buku harian, dialog, komentar, dan bahan-bahan lain dari majalah, koran, buku fiksi dan nonfiksi, program radio, dan program televisi. Semua akun individu ini bukan data ilmiah, namun sangat berfungsi sebagai sumber penting yang menceritakan wawasan pendatang baru ke dalam "pengalaman hidup" adaptasi lintas budaya (Kim, 2005).

f. Konsep-konsep utama dan kondisi yang membatasi. Kim menggunakan dua istilah sentral dalam teori ICT (Integrative Communication Theory), yaitu: (1) adaptasi; dan (2) orang asing (stranger) untuk membantu mendefinisikan teori (Kim, 2005). Hal yang dimaksudkan dengan "orang asing" adalah gabungan semua individu pendatang yang sudah masuk, atau yang sudah masuk kemudian keluar lagi lalu kembali bermukim, dalam lingkungan budaya atau subbudaya baru (Kim, 2005).

Proses Adaptasi Lintas Budaya

Semua manusia dilahirkan dalam lingkungan yang tidak dikenal dan dibesarkan untuk menjadi bagian dari suatu budaya. Proses ini dikenal sebagai enkulturasi, dan mengacu pada organisasi, integrasi, dan perneliharaan lingkungan budaya sendiri. Selama bertahun-tahun telah terjadi pembentukan budaya bersama, telah terjadi perubahan internal dengan meningkatnya interaksi individu dalam lingkungan budayanya. b.

Memasuki Budaya Baru

Transisi budaya individu dari budaya asal ke budaya baru bisa mengejutkan dan konflik internal sering muncul. Individu harus belajar beradaptasi dan rumbuh dalam lingkungan baru karena mereka sering berhadapan dengan situasi baru, situasi yang menantang norma budaya dan pandangan dunia dari budaya asal mereka. Ini adalah proses yang dikenal sebagai akulturasi (Shibutani dan Kwan, 1965). Menurut Kim, ketika terjadi pembelajaran baru atau dekulturasi, pasti ada penghapusan beberapa elemen budaya asal, setidaknya dalam artian bahwa respons terhadap budaya baru diadopsi dalam situasi budaya asal sebelumnya, inikan sama dengan respons telah membangkitkan budaya lama. Individu dipaksa untuk mengembangkan kebiasaan baru, yang mungkin bertentangan dengan kebiasaan yang lama. Kim menyatakan bahwa arah teoretis utama dari perubahan adaptif adalah menuju asimilasi, suatu keadaan konvergensi maksimum yang mungkin berasal dari kondisi internal dan eksternal orang asing yang harus berhadapan dengan kondisi penduduk asli.

Asimilasi adalah proses yang berkelanjutan dan biasanya tidak sepenuhnya tercapai, terlepas dari jumlah waktu yang dihabiskan dalam budaya baru. Teori komunikasi integratif (integrative communication theory) menunjukkan bahwa berbagai tingkat integrasi dalam budaya secara langsung berdampak pada pengalaman individu dalam budaya baru, yang disarankan oleh penelitian lain, seperti Locke. Menurut Don C. Locke, satu perbedaan utama di antara anggota dari berbagai kelompok budaya di Amerika adalah sejauh mana mereka telah membenamkan diri ke dalam budaya AS. Dia menyatakan bahwa anggota kelompok yang beragam secara budaya dapat ditempatkan ke dalam beberapa kategori. Individu-individu bikultural mampu berfungsi secara kompeten dalam budaya dominan sembari tetap berpegang pada manifestasi budaya mereka sendiri. Individu tradisional berpegang pada sebagian besar ciri budaya asal dan menolak banyak sifat budaya dominan. Tipe individu lain adalah mereka yang akan mengakulturasi dan melepaskan sebagian besar ciri-ciri budaya dari budaya asal dan ciri-ciri budaya dominan. Akhirnya, individu marginal merasa tidak cocok dengan budaya asal atau budaya dominan (Locke, 1998).




Gambar 2.1 Model Adaptasi Lintas Budaya dari Kim
Sumber: Kim (2005)

Stres dalam Dinamika Pertumbuhan Adaptasi

Kim telah mengembangkan teori komunikasi integratif adaptasi lintas budaya yang menganggap adaptasi sebagai proses dialektik dari dinamika stres dalam "pertumbuhan-adaptasi". Pertumbuhan ini secara bertahap mengarah pada tingkat kenyamanan fungsional yang lebih besar serta kesehatan psikologis sehubungan dengan lingkungan baru (Kim, 2005). Bagian dari teori Kim ini berfokus pada tekanan, yang mau tidak mau, menyertai gerakan lintas budaya, ketika individu berusaha untuk mempertahankan aspek-aspek budaya lama mereka, dan di saat yang sama, mereka juga berusaha untuk mengintegrasikan budaya asal ke budaya yang baru. Konflik internal yang muncul ini menghasilkan ketidakseimbangan emosi "terendah" dari kebingungan ketidakpastian, dan kecemasan (Gudykunst, 2005).

Dari sinilah setiap orang akan menangani perubahan ini dengan berbagai cara, termasuk penghindaran, penolakan, dan penarikan diri, serta mundur ke kebiasaan yang sudah ada sebelumnya untuk menghilangkan rasa ketidaknyamanan dalam lingkungan baru.

Sementara itu, yang lain mengembangkan kebiasaan baru dan memulai proses adaptasi, memungkinkan mereka meniadi lebih cocok dengan lingkungan mereka sebelumnya. Ini semua terjadi dalam periode perrumbuhan. Dinamika pertumbuhan ini sama dengan dinamika adaptasi stres yang tidak linear, retapi bolak-balik sehingga ada fase regresi demi perkembangan selanjutnya. Di sini, asimilasi dapat didefinisikan sebagai proses di mana seseorang mengambil materi dari lingkungan lalu dimasukkan ke dalam pikiran mereka, artinya seseorang mulai mengubah bukti yang ditangkap indra mereka untuk membuatnya menjadi cocok, sedangkan akomodasi adalah perbedaan konsep yang dibuat oleh pikiran seseorang, inilah yang disebut proses asimilasi (Atherton, 1969).

Struktur Adaptasi Lintas Budaya

Struktur adaptasi lintas budaya ditentukan oleh lima faktor, yaitu: (a) personal communication: host communication competence; (b) host social communication; (c) ethnic social communication; (d) environment; dan (e) predisposition.

Pertama, komunikasi pribadi berkaitan dengan kompetensi budaya komunikasi tuan rumah. Komunikasi adalah prasyarat keberhasilan adaptasi individu ke dalam lingkungan baru. Ini bergantung pada decoding atau kapasitas orang asing untuk menerima dan memproses informasi, serta encoding, atau merancang dan melaksanakan rencana mental dalam memulai atau menanggapi pesan. Ada tiga kategori yang umum dikenal, yaitu sebagai berikut:

1) Kognitif: kemampuan internal seseorang, seperti pengetahuan tentang budaya dan bahasa tuan rumah, sejarah, institusi, pandangan dunia, kepercayaan, norma, dan aturan perilaku antarpersonal.

2) Afektif: kompetensi afektif memfasilitasi adaptasi lintas budaya dengan menyediakan kapasitas motivasi untuk menghadapi berbagal tantangan hidup dalam lingkungan tuan rumah, keterbukaan terhadap pembelajaran baru, dan kesediaan untuk berpartisipasi dalam aspek emosi dan fisik lingkungan tuan rumah (Kim, 2005).

3) Operasional: kompetensi operasional berkaitan dengan aspek-aspek lain dari kompetensi komunikasi tuan rumah yang dapat memfasilitasi orang asing yang secara lahiriah mengekspresikan pengalaman kognitif dan afektif mereka (Kim, 2005).

Kedua, komunikasi sosial dengan tuan rumah (host social communication). Maksudnya adalah para pendatang (orang asing) seharusnya berkomunikasi antarpribadi dengan tuan rumah. Situasi ini dapat membantu orang asing untuk mengamankan informasi penting, juga wawasan "baru" ke dalam pola pikir dan perilaku masyarakat setempat. Partisipasi ini dapat memberikan orang asing tirik referensi bagi perilaku mereka sendiri (Gudykunst, 2005). Sementara itu, komunikasi massa dengan tuan rumah sangat bergantung pada pengintegrasian individu ke dalam situasi budaya tuan rumah melalui media, radio, televisi, dan lain-lain. Semua ini berfungsi sebagai sumber penting pembelajaran budaya dan bahasa tapa sangat bergantung pada partisipasi dan paparan individu (Kim, 2005).

Ketiga, ethnic social communication, pada tahap awal integrasi, komunitas etnis berfungsi bagi orang asing untuk dapat menerima kenyamanan dari budaya mereka sebelumnya, ini sekaligus dapat melayani dan memfasilitasi adaptasi budaya. Setelah fase awal ini, komunikasi sosial etnis memungkinkan individu untuk menjaga koneksi mereka dengan budaya asli mereka.

Keempat, environment, beberapa budaya kelihatannya lebih mudah berasimilasi daripada yang lain, misalnya budaya tuan rumah yang berdampak langsung pada sifat integrasi individu. Beberapa masyarakat menunjukkan lebih banyak keterbukaan dan kehangatan bagi orang luar daripada yang lain. Sejauh mana lingkungan tuan rumah tertentu memberikan daya penerimaan dan kesesuaian pada orang asing, ini juga sangat dipengaruhi oleh kekuatan kelompok etnis pendatang secara keseluruhan, yang dapat memengaruhi lingkungan tuan rumah dan sekitarnya (Kim, 2005).

Environmental Influence:

- Pressure to conform

- Host receptivity



 

Gambar 2.2 Model Struktur Adaptasi Lintas Budaya dari Kim
Sumber. Kim (2005)

Kelima, predisposition. Individu yang dapat lebih mempersiapkan diri memasuk, lingkungan budaya baru, baik secara fisik dan emosional, tentu saja akan memiliki pengaruh positif terhadap kemampuan mereka untuk transisi. Ini juga memperhitungkan kesiapan mental, emosional, dan motivasi untuk menghadapi lingkungan budaya baru, termasuk pemahaman bahasa dan budaya baru (Kim, 2005). Memiliki pikiran terbuka membantu meringankan beberapa kejutan budaya yang terkait dengan asimilasi ke lingkungan baru.

 

Model Komunikasi Antarbudaya Collen Ward

Model Colleen Ward

Colleen Ward dan Antony Kennedy (1999) mengemukakan bahwa dalam upaya membawa konsep integrasi ke area penelitian yang difraksinasi, model adaptasi lintas budaya ini diperkenalkan. Model ini mengandung dua domain adaptasi budaya, yaitu: (a) domain psikologis: dan (b) domain sosial-budaya.

Pertama, domain psikologis (emosional/afektif). Adaptasi psikologis didefinisikan sebagai kesejahteraan psikologis dan emosional yang secara luas dipengaruhi oleh kepribadian, perubahan hidup, gaya koping, dan dukungan sosial. Sebagai contoh, adaptasi psikologis dikaitkan dengan fleksibilitas pribadi, locus of control internal, kepuasan hubungan, gaya koping yang berorientasi pada pendekatan, dan penggunaan humor.

Sebaliknya, hambatan psikologis dikaitkan dengan insiden perubahan kehidupan yang tinggi, misalnya kesepian, stres, dan gaya menghindari koping (Berno dan Ward, 1998; Searle dan Ward, 1990; Feinstein dan Ward, 1990; Ward dan Kennedy, 1998a; Ward dan Rana-Deuba, 1999). Adaptasi psikologis ini paling baik dipahami dalam kerangka stres dan Roping (koping adalah mekanisme untuk mengatasi perubahan yang dihadapi atau beban yang diterima tubuh di mana beban tersebut menimbulkan respons tubuh yang sifatnya nonspesifik yaitu stres). Apabila mekanisme koping berhasil, seseorang akan dapat beradaptasi terhadap perubahan atau beban tersebut (Ahyar, 2010). Sementara itu, mekanisme koping adalah cara yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah, misalnya menyesuaikan diri dengan perubahan, serta respons terhadap situasi yang mengancam (Lazarus, 2004).

Gambar 2.3 Model Komunikasi Antarbudaya dari Colleen Ward
Sumber: Colleen Ward dan Antony Kennedy (1999)

Kedua, domain sosiokultural (perilaku). Adaptasi sosial-budaya terkait dengan kemampuan individu "menyesuaikan diri" untuk memperoleh keterampilan yang sesuai dengan budaya baru, termasuk menegosiasikan aspek interaktif dengan lingkungan budaya host. Adaptasi sosiokultural didefinisikan dalam kompetensi perilaku yang lebih kuat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mendasari pembelajaran budaya dan perolehan keterampilan sosial, termasuk misalnya lama tinggal seseorang dalam lingkungan budaya baru, pengetahuan tentang budaya baru, jumlah interaksi dan identifikasi dengan warga negara host, jarak budaya, bahasa, dan strategi akulturasi (Searle dan Ward, 1990; Ward dan Kennedy, 19932, 1994; Ward Jan Seatle, 1991).

Berbagai penelitian untuk mendukung model ini juga meng-ungkapkan bahwa dua hasil adaptasi tersebut di atas menampilkan pola-pola berbeda dari waktu ke waktu. Adaptasi sosiokultural para pendatang dapat diprediksi mengikuti kurva pembelajaran yang meningkat cepat selama beberapa bulan pertama, terutama ketika terjadinya transisi lintas budaya, lalu kemudian secara bertahap mengalami leveling off ketika mereka memperoleh keterampilan budaya spesifik yang baru. Sementara itu, adaptasi psikologis lebih bervariasi dari waktu ke waktu, meskipun penelitian telah memastikan bahwa selalu ada kesulitan terbesar dialami pada tahap awal transisi lintas budaya (Ward dan Kennedy, 1996). Pada akhirnya, konsep pengembangan penyesuaian psikologis dan sosiokultural dari para pendatang bertumpu pada pengukuran hasil adaptasi.

Ward, dkk., juga mengandalkan teknik penilaian psikologis standar untuk pengukuran adaptasi psikologis (The Zung Self-Rating Depression Scale, Zung, 1965). Teknik ini paling sering digunakan karena reliabilitas dan validitas lintas budayanya sudah terdokumentasi secara luas. Para peneliti lain juga memakai skala prole of mood states untuk mengukur adaptasi psikologis (McNair, Lorr, dan Droppleman, 1971). Skala ini selalu digunakan dalam psikologi untuk mengukur gejala klasik dari kejutan budaya, seperti ketegangan, depresi, kemarahan, kelelahan, dan kebingungan. Sementara itu, pengukuran adaptasi sosiokultural dilakukan dengan skala the sociocultural adaptation scale (SCAS, 1990).

Teknik pengukuran SCAS ini pertama kali digunakan oleh Searle dan Ward (1990) dalam studi mereka tentang transisi lintas budaya dan adaptasi siswa Malaysia dan Singapura di Selandia Baru. Riset tersebut, pada akhirnya dapat menjelaskan pengembangan skala dan mendokumentasikan kegunaan dan fleksibilitas pengukuran SCAS. Sifat-sifat psikometrik dari SCAS dilaporkan bersama dengan analisis data dari 16 sampel cross-sectional, 4 sampel longitudinal, dan perbandingan antara satu pasang pendatang dengan mereka yang menetap. Colleen Ward relah bekerja keras untuk menemenemukan dan mempertahankan raliditas skala-skala tersebut. Kemudian, dia menyarankan beberapa kemungkinan untuk mengembangkan atau memperluas skala yang sudah ada, yang lebih valid, mengukur domain adaptasi psikologis, dan sosio-kultural yang berbeda.

Kesimpulan

Teori (integratif) adaptasi lintas budaya (integrative theory of cross-cultural adaptation) diperkenalkan oleh Young Yun Kim. Teori ini menjelaskan proses transformasi budaya yang dialami semua orang pada saat mereka pindah ke lingkungan baru yang budayanya tidak dikenal. Konsep adaptasi lintas budaya mengacu pada proses di mana seseorang mencapai tingkat kenyamanan psikologis dan fungsional dalam lingkungan budaya penerima. Penelitian Kim ini berlaku bagi individu yang memasuki budaya baru untuk jangka waktu yang berbeda, misalnya para pekerja migran, diplomat, para mahasiswa, veteran, dan lain-lain (Kim, 1988, 2001, 2005).

Kim menyatakan bahwa ada lima mata rantai utama yang hilang dalam litcratur adaptasi lintas budaya, yang dia bahas kembali dalam cakupan teorinya, yaitu: c. Adaptasi lintas budaya harus dilihat dalam konteks pembelajaran baru dan pertumbuhan psikologis untuk memberikan interpretasi yang lebih seimbang dan lengkap dari pengalaman individu dalam lingkungan yang tidak dia dikenal. d. Harus ada upaya untuk memilah dan mengonsolidasikan faktor-faktor yang membentuk dan/atau menjelaskan proses adaptasi lintas budaya individu.

Dasar ideologis yang berbeda dari asimilasionalisme dan pluralisme perlu diakui dan dimasukkan ke dalam konsepsi pragmatis adaptasi lintas budaya; soal ini harus dipandang sebagai kondisi lingkungan tuan rumah serta individu yang beradaptasi dengan lingkungan tersebut. Kim (1988) menjelaskan teori integratifnya melalui gambaran tentang adaptasi komunikasi lintas budaya sebagai berikut: Teori komunikasi integratif bersandar pada naluri manusia untuk memperjuangkan keseimbangan ketika mereka bertemu dengan kondisi lingkungan yang berlawanan, seperti yang mereka alami dalam budaya baru. Pengalaman ini tidak terbatas pada satu wilayah saja dan satu kelompok budaya atau bangsa saja, tetapi merupakan konsep universal dari kecenderungan dasar manusia, kecenderungan setiap individu dalam perjuangan menghadapi lingkungan baru dan menantang (Kim, 2005).

Kim menjelaskan bahwa adaptasi lintas budaya sebagai proses multi-stage. Inilah yang membuat teori ini berfokus pada sifat kesatuan proses psikologis dan sosial, dan saling ketergantungan timbal balik antara lingkungan fungsional pribadi (Kim, 2005). Seseorang mulai beradaptasi hanya ketika mereka berkomunikasi dengan orang lain dalam lingkungan baru yang dia masuki. Teori Kim ini dirancang untuk mengidentifikasi pola-pola budaya yang umumnya hadir dalam serangkaian kasus individual yang terdefinisi dengan jelas, dan menerjemahkan pola-pola tersebut ke delam serangkaian pernyataan yang digeneralisasikan dan saling terkait.

Fakta bahwa manusia akan beradaptasi dalam lingkungan baru itu tidak perlu dipertanyakan lagi, melainkan bagaimana dan mengapa individu beradaptasi. Semua akun individu ini bukan data ilmiah, namun sangat berfungsi sebagai sumber penting yang menceritakan wawasan pendatang baru ke dalam "pengalaman hidup" adaptasi lintas budaya (Kim, 2005). Hal yang dimaksudkan dengan "orang asing" adalah gabungan semua individu pendatang yang sudah masuk, atau yang sudah masuk kemudian keluar lagi lalu kembali bermukim, dalam lingkungan budaya atau subbudaya baru (Kim, 2005). Semua manusia dilahirkan dalam lingkungan yang tidak dikenal dan dibesarkan untuk menjadi bagian dari suatu budaya.

Proses ini dikenal sebagai enkulturasi, dan mengacu pada organisasi, integrasi, dan perneliharaan lingkungan budaya sendiri. Individu harus belajar beradaptasi dan rumbuh dalam lingkungan baru karena mereka sering berhadapan dengan situasi baru, situasi yang menantang norma budaya dan pandangan dunia dari budaya asal mereka. 

Rabu, 14 Desember 2022

MODEL MODEL KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA IBEN JENSEN, BERRY

 Model Iben Jensen

Iben Jensen (1998), dari Departement Ilmu Komunikasi, Universitas Rosklide, Denmark, setelah melakukan penelitian komunikasi antarbudaya pada masyarakat multietnik, kemudian dengan pendekatan pascastrukturalis, menulis laporan berjudul: "The Practice of Intercultural Communication-Reflections for Professionals in Cultural Meetings". Iben mengajukan model sebagai berikut:

 

Gambar 8.14 Model Komunikasi Antarbudaya dari Iben Jensen Sumber: M.J. Yoshikawa (1987)

Menurut Yoshikawa (1987), yang menguraikan model Jensen, sebetulnya Jensen ingin: (a) memberikan gambaran tentang proses komunikasi antarbudaya di antara dua aktor yang sama-sama bertindak sebagai penutur satu sama lain; (b) menekankan keterhubungan antara para peserta dalam proses komunikasi; dan (3) menunjukkan bahwa proses komunikasi itu tak terbatas, artinya proses yang berkelanjutan. Tujuan model ini adalah untuk membiarkan para praktisi atau ilmuwan berpikir melalui proses komunikasi antarbudaya dan merenungkan hal ini sebagai perspektif baru. Jensen menawarkan model ini setelah melakukan studi tentang komunikasi antarbudaya dalam masyarakat multietnik yang kompleks (Jensen, 1998).

 

Gambar 8.15 Model Cultural Fix Points dari Iben Jensen Sumber: Iben Jensen (1998/2001)

         Model ini berasumsi bahwa, para pihak yang terlibat dalam komunikasi antarbudaya mempunyai: (a) pengalaman budaya masingmasing, dan pengalaman mereka tersebut sangat memengaruhi; (b) cultural presuppositions; dan (c) cultural self perception. nya dalam perbedaan antarbudaya inilah para pihak akan menemukan (d) cultural fix points.

 

1.     Posisi Pengalaman

Konsep posisi pengalaman mengacu pada fakta bahwa semua interpretasi antarbudaya dibatasi oleh pengalaman individu. Walaupun pengalaman itu bersifat subjektif, pengalaman berkaitan dengan posisi sosial seseorang. Dari perspektif sehari-hari, secara teoretis seperti yang diwakili oleh Berger dan Luckmann (1966), istilah "pengalaman" ini bersifat sentral. Dalam komunikasi antarbudaya, kita harus menghormati bahwa mitra komunikasi kita mungkin memiliki pengalaman dan dia menyosialisasikan pengalaman dia tentang dunia dia secara nyata (Berger dan Luckmann, 1966). Oleh karena itu, kita tidak mungkin mengabaikan pengalaman seseorang. Ini adalah fakta penting dalam komunikasi antarbudaya.

2.     Pengandaian Budaya

Pengandaian budaya (cultural presuppositions) mengacu pada pengetahuan, pengalaman, perasaan, dan pendapat yang kita miliki terhadap kategori sejumlah orang yang tidak dianggap sebagai anggota komunitas budaya yang seharusnya diidentifikasikan. Ini juga bagian dari prasangka budaya yang pernah dikemukakan oleh Gadamer (1989). Oleh karena itu, dibutuhkan alat analisis untuk mengetahui sejauh mana seseorang mempunyai pengandaian antarbudaya.

3.     Cultural Self-Perception

Cultural self-perception adalah cara di mana seorang aktor mengekspresikan komunitas budayanya seperti dia mengidentifikasikan dirinya sendiri. Jenis persepsi ini berkaitan erat dengan pengandaian budaya (cultural presuppositions) karena melalui konstruksi yang lain, kita membangun narasi tentang diri kita sendiri. Cultural self-perception dapat menunjukkan idealisasi yang sering terjadi saat debat mewakili nilai yang berbeda atau komunitas budaya yang berbeda.

4.     Cultural Fix Points

Cultural fix points adalah titik temu budaya dalam situasi antarbudaya, yaitu titik fokus yang muncul dalam komunikasi antara dua aktor dari dua budaya yang berbeda terhadap suatu topik percakapan tertentu. Di sini topik harus dilihat sebagai titik urat budaya yang diperlukan oleh kedua aktor tersebut demi mengidentifikasi topik, kemudian mereka memosisikan diri dalam sebuah diskusi.

Dalam kaitannya dengan komunikasi antarbudaya, tujuan titik temu budaya (cultural fix points) adalah untuk mengidentifikasi beberapa pola dalam konflik yang memiliki karakteristik dalam periode tertentu.


Model Berry

Menurut Sam dan Berry (2010), konsep akulturasi mengacu pada proses perubahan budaya dan psikologis yang dihasilkan setelah pertemuan antarbudaya. Konsep lain yang terkait erat dengan akulturasi adalah adaptasi, yang juga digunakan untuk menjelaskan kesejahteraan psikologis individu, dan bagaimana individu mengelola situasi sosiokultural. Dengan demikian, adaptasi dianggap sebagai konsekuensi dari akulturasi. Sementara itu, strategi akulturasi mengacu pada berbagai cara di mana kelompok dan individu mencari akulturasi (Berry, 1974, 1980). Akulturasi itu menyangkut segala macam perubahan, misalnya perubahan sosial, fisik, dan perubahan psikologis. Berikut Ini adalah pertanyaan sentral yang diajukan oleh Sam dan Berry (2010) sebagaimana dijelaskan dalam beberapa tahapan berikut:

1.     Stres dan koping. Akulturasi dapat disamakan dengan serangkaian peristiwa besar kehidupan yang menimbulkan tantangan bagi individu.

2.     Pembelajaran budaya. Setiap orang dalam transisi budaya mungkin tidak memiliki keterampilan yang diperlukan untuk terlibat dalam dan dengan budaya baru.

3.     Identitas sosial. Bagaimana kelompok dan individu mendefinisikan identitas mereka dalam hubungannya dengan anggota kelompok etnis mereka sendiri (yaitu identitas etnis), di satu sisi, dan masyarakat yang lebih besar di mana mereka melakukan akulturasi.

Ada dua dimensi strategi akulturasi yang melibatkan kelompok dominan dan kelompok tidak dominan (Berry, 1974; Berry 1997) sebagaimana diuraikan sebagai berikut:

Pertama, seseorang dapat mempunyai kemampuan sangat tinggi. untuk menyesuaikan diri ke dalam satu budaya (host atau budaya tuan rumah/budaya dominan atau budaya asli/etnis) atau kedua-duanya (bikultural) atau sama sekali tidak menyesuaikan diri (menjadi marginal).

Kedua, yang penting, menurut Berry, budaya dominan bekerja untuk atau terhadap orang asing/anggota minoritas dengan pendekatan penerimaan. Beberapa budaya mencoba memaksa asimilasi, kebudayaan lain mendorong pluralisme; beberapa orang mungkin memisahkan diri dari minoritas, dan beberapa orang juga berusaha memisahkan diri dari budaya minoritas. Di satu sisi, pendekatan ini mengantisipasi suatu hal yang menurut Melissa Curtin (2010) bahwa kita seharusnya tidak bersikeras dalam beradaptasi.

 

 


Gambar 8.16 Model Komunikasi Antarbudaya dari Sam dan Berry Sumber: Sam dan Berry (2010)

Pendapat di atas tampaknya “ateoretis” di mana sudah ada banyak peneliti mencoba memprediksi bagaimana imigran dan pendatang akan menyesuaikan diri dengan pengaruh berbagai variabel. Sejatinya dampak yang tepat dari para imigran dalam beradaptasi akan sangat tergantung pada bagaimana seseorang mendefinisikan adaptasi itu sendiri. Seperti disebutkan di atas, orang mungkin menyesuaikan diri secara psikologis (sangat senang dan nyaman), tetapi tidak menyesuaikan diri dalam hal mengadopsi norma-norma budaya baru.

MODEL MODEL KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA MENURUT HAMMER, THOMAS & KILMAN, TING TOOMEY

  Komunikasi Antar Budaya Menurut Hammer Perintis yang penting kepada kompetensi budaya ialah sensitiviti antara Budaya   Menurut Hammer, se...