Senin, 27 Juni 2022

POSTMODERNISME

Postmodernisme adalah sebuah pandangan, kerangka pemikiran, atau aliran filsafat yang berkaitan dengan sikap dan cara berpikir yang muncul di abad dua puluh dari para pemikir dunia yang tentu saja keberadaannya sangat mempengaruhi perkembangan dan kebudayaan manusia. Penerapan postmodernismepun telah dilakukan dalam berbagai bidang, seperti:  seni, arsitektur, musik, film, dan teater. Kehadiran aliran ini memiliki tujuan untuk menjawab dan mengkritisi pandangan-pandangan yang telah ada sebelumnya dalam hal mencari solusiatas beragam permasalahan yang dihadapi manusia hari ini serta krisis sosial dan kultural yang tak kunjung usai. Sebagian para ahli sepakat bahwa postmodernisme bisa mengatasi krisis-krisis sosial yang terjadi, sehingga pemikiran ini pun telah mempengaruhi hampir sebagian besar sisi kehidupan manusia, namun sebagian yang lain tidak jarang yang meragukan kemampuan pendekatan postmodernisme ini, sebagaimana yang ditulis Jenks dalam bukunya Studi Kebudayaan, yaitu: Postmodernisme tidak menawarkan cara-cara alternatif untuk mengetahui (memperoleh pengetahuan) darimana kita bisa menghadapi dan menghargai sesuatu yang ‟baru‟ secara layak, tetapi menyindir  wacana  dengan  terus-menerus  membabat  epistimologi-epistimologi yang ada dan menghadirkan penurunan dan pelemahan pengaruh penjelasan-penjelasan yang didasarkan    atas    kualitas wacana yang sama sekali tidak istimewa (Jenks, 2013: 202).

A.    LAHIRNYA POSTMODERNISME

Munculnya postmodernisme tidak dapat dilepaskan dari modernisme itu sendiri. Kata modernisme mengandung makna serba maju, gemerlap, dan progresif. Modernisme selalu menjanjikan pada kita untuk membawa pada perubahan ke dunia yang lebih mapan di mana semua kebutuhan akan dapat terpenuhi. Rasionalitas akan membantu kita menghadapi mitos-mitos dan keyakinan-keyakinan tradisional yang tak berdasar, yang membuat manusia tak berdaya dalam menghadapi dunia ini (Maksum, 2014: 309). Namun demikian, modernisme memiliki sisi gelap yang menyebabkan kehidupan manusia kehilangan diorientasi. Apa yang dikatakan oleh Max Horkheimer, Ardono, dan Herbert Marcuse bahwa pencerahan tersebut melahirkan sebuah penindasan dan dominasi disamping juga melahirkan kemajuan. Modernisme, menurut Anthony Giddens, menimbulkan berkembangbiaknya petaka bagi umat manusia. Pertama, penggunaan kekerasan dalam menyelesaikan sengketa. Kedua, penindasan oleh yang kuat atas yang lemah. Ketiga, ketimpangan sosial yang kian parah. Keempat, kerusakan hidup yang kian menghawatirkan (Maksum, 2014: 311). Tumbangnya modernisme dan munculnya postmodernisme dapat kita ketahui dari pemikiran filsafatnya Soren Kierkegaard (1813-1855), sebagaimana dikutip oleh Ali Maksum, yang menentang rekonstruksirekonstruksi rasional dan masuk akal yang menentukan keabsahan kebenaran ilmu. Sesuatu itu dikatakan benar ketika sesuai dengan konsensus atau aturan yang berlaku di dunia modern, yaitu rasional dan objektif. Namun tidak dengan Kierkegaard, dia berpendapat bahwa kebenaran itu bersifat subjektif (Ghazali & Effendi, 2009: 314). Truth is subjectivity, artinya bahwa pendapat tentang kebenaran subjektif itu menekankan pentingnya pengalaman yang dialami oleh seorang individu yang dianggapnya relatif. Gejala Postmodernisme yang merambah ke berbagai bidang kehidupan tersebut yang didalamnya termasuk ilmu pengetahuan merupakan suatu reaksi terhadap gerakan modernisme yang dinilainya mengalami kegagalan. Modernisme yang berkembang dengan ditandai oleh adanya rasionalisme, materialisme, dan kapitalisme yang didukung dengan perkembangan teknologi serta sains menimbulkan disorientasi moral keagamaan dengan runtuhnya martabat manusia (Kalean, 2002: 298). Atas latar belakang itulah, para tokoh dan pemikir postmodernisme menghadirkan sebuah gagasan baru yang disebut dengan postmodernisme dalam rangka melakukan dekonstruksi paradigma terhadap berbagai bidang keilmuan, sebagai sebuah upaya untuk mengoreksi atau membuat dan bahkan menemukan paradigma yang baru. Postmodernisme seperti yang dikatakan oleh Derrida dan Lyotard, merupakan anti tesis dari modernisme.

B.      TOKOH-TOKOH POSTMODERNISME

Ada beberapa tokoh yang bisa disebut mewakili era Postmodernisme.

Pertama, Jean-Francois Lyotard, merupakan salah satu filsuf postmodernisme yang paling terkenal sekaligus paling penting di antara filsuf-filsuf postmodernisme yang lainnya. Dua karya yang menjadikannya terkenal baik di Perancis maupun diluar negeri yaitu The Postmodernisme Condition dan The Differend. Karyanya itu juga baik sesuatu ataupun seseorang yang ditolak bersuara terhadap sistem ideologis yang dominan yang menentukan sesuatu yang dapat diterima dan tidak dapat diterima (Zaprulkhan, 2006: 320). Pemikiran Lyotard tentang ilmu pengetahuan dari pandangan modernisme yang sebagai narasi besar seperti kebebasan, kemajuan, dan sebagainya kini menurutnya mengalami permasalahan yang sama seperti abad pertengahan yang memunculkan istilah religi, nasional kebangsaan, dan kepercayaan terhadap keunggulan negara eropa untuk saat ini tidak dapat dipercaya atau kurang tepat kebenarannya. Maka, postmodernisme menganggap sesuatu ilmu tidak harus langsung diterima kebenarannya harus diselidiki dan dibuktikan terlebih dahulu. Bagi Lyotard, ilmu pengetahuan postmodernisme bukanlah semata-mata menjadi alat penguasa, ilmu pengetahuan postmodern memperluas kepekaan kita terhadap pandangan yang berbeda dan memperkuat kemampuan kita untuk bertoleransi atas pendirian yang tak mau dibandingkan (Maksum, 2014: 319-321).

Kedua, Michel Foucault, adalah seorang tokoh postmodernisme yang menolak keuniversalan pengetahuan. Ada beberapa asumsi pemikiran pencerahan yang ditolak oleh Foucault yaitu: 1) Pengetahuan itu tidak ersifat metafisis, transendental, atau universal, tetapi khas untuk setiap waktu dan tempat 2) Tidak ada pengetahuan yang mampu menangkap katakter objektif dunia, tetapi pengetahuan itu selalu mengambil perspektif. 3) Pengetahuan tidak dilihat sebagai pemahaman yang netral dan murni, tetapi selalu terikat dengan rezim-rezim penguasa (Maksum, 2014: 322).

Ketiga, Jacques Derrida. Membahas filsuf yang satu ini tidak akan lepas dari buah pikirannya tentang dekonstruksi. Istilah ini merupakan salah satu konsep kunci postmodernisme. Apa itu dekonstruksi? secara etimologis, dekonstruksi adalah berarti mengurai, melepaskan, dan membuka (Maksum, 2014: 331). Derrida menciptakan sebuah pemikiran dekonstruksi, yang merupakan salah satu kunci pemikiran postmodernisme, yang mencoba memberikan sumbangan mengenai teori-teori pengetahuan yang dinilai sangat kaku dan kebenarannya tidak bisa dibantah, yang dalam hal ini pemikiran modernisme. Derrida mencoba untuk meneliti kebenaran terhadap suatu teori pengetahuan yang baginya bisa dibantah kebenarannya yang dalam arti bisa membuat teori baru asalkan hal tersebut dapat terbukti kebenarannya dan dipertanggungjawabkan.

C.      CIRI-CIRI PEMIKIRAN POSTMODERNISME

Amin Abdullah dalam bukunya berjudul Falsafah Kalam di Era Postmodernisme menyatakan bahwa ciri-ciri pemikiran postmodernisme adalah dekonstruktif. Hampir semua bangunan atau konstruksi dasar keilmuan yang telah mapan dalam era modern, baik dalam bidang sosiologi, psikologi, antropologi, sejarah, bahkan juga ilmu-ilmu kealaman yang selama ini baku ternyata dipertanyakan ulang oleh postmodernisme. Hal ini terjadi karena teori tersebut dianggap menutup munculnya teori-teori lain yang barangkali jauh lebih dapat membantu memahami realitas dan pemecahan masalah. Jadi klaim adanya teori-teori yang baku, standar, yang tidak dapat diganggu gugat, itulah yang ditentang oleh pemikir postmodernisme. Standar yang dilihatnya kaku dan terlalu skematis sehingga tidak cocok untuk melihat realitas yang jauh lebih rumit. Maka menurutnya harus diubah, diperbaiki, dan disempurnakan oleh para pemikir postmodernisme. Dalam istilah Amin Abdullah dikenal dengan deconstructionism yakni upaya mempertanyakan ulang teori-teori yang sudah mapan yang telah dibangun oleh pola pikir modernisme, untuk kemudian dicari dan disusun teori yang lebih tepat dalam memahami kenyataan masyarakat saat ini, meliputi keberagaman, dan juga realitas alam (Abdullah, 2004: 96). Ciri postmodernisme yang lain adalah berwatak relativisme, artinya pemikiran postmodernisme dalam hal realitas budaya (nilainilai, kepercayaan, dan lainnya) tergambar dalam teori-teori yang dikembangkan oleh disiplin ilmu antropologi. Dalam pandangan antropologi, tidak ada budaya yang sama dan sebangun antara satu dengan yang lain. Seperti budaya Amerika jelas berbeda dengan Indonesia. Maka nilai-nilai budaya jelas sangat beraneka ragam sesuai dengan latar belakang sejarah, geografis, dan sebagainya. Dapat disimpulkan bahwa ilmu pengetahuan bagi postmodernisme bersifat relatif, tidak ada ilmu pengetahuan yang kebenarannya absolut. Dan melihat suatu peristiwa tertentu juga ketika ingin menilainya harus dilihat dari segala sisi, tidak hanya terfokus pada satu sisi tertentu.

D.      KELEBIHAN DAN KELEMAHAN POSTMODERNISME

Kelebihan postmodernisme antara lain bahwa perspektif postmodernisme dapat membuat kita peka terhadap kemungkinan bahwa wacana besar positif, prinsip-prinsip etika positif, dapat diputar dan dipakai untuk menindas manusia. Martabat manusia harus dijunjung tinggi, seperti kebebasan adalah nilai tinggi, tetapi bisa saja terjadi bahwa nama kebebasan sekelompok orang mau ditiadakan. Postmodernisme ikut membuat kita sadar, sebuah kesadaran bahwa semua cerita besar perlu dicurigai, perlu diwaspadai agar tidak menjelma rezim totalitarianisme yang hanya mau mendengarkan suara diri sendiri dan mengharuskan suara-suara yang berbeda dari luar (Zaprulkhan, 2006: 323-324). Menurut Franz Dahler, postmodernisme memiliki segi positif, yaitu keterbukaan untuk kebhinekaan masyarakat, untuk toleransi, perlawanan terhadap monopoli, dominan agama, aliran dan ideologi tertentu, hingga menguntungkan demokrasi (Jalaluddin, 2013: 67). Zaprulkhan menyatakan bahwa setidaknya ada kelemahan yang ada pada postmodernisme, yang penulis rangkum menjadi tiga poin utama, yaitu, pertama, postmodernisme yang sangat semangat mempromosikan narasi-narasi kecil, ternyata buta terhadap kenyataan bahwa banyak juga narasi kecil yang mengandung banyak kebusukan. Katakanlah kaum komunitarian yang membela tradisi-tradisi komunitas dikemukakan bahwa banyak tradisi komunitas bertentangan tidak hanya dengan suatu ide abstrak martabat manusia postmodernisme akan menolak argumen itu, melainkan terhadap institusi-institusi moral mendalam manusia. Kedua, postmodernisme tidak membedakan antara ideologi, di satu pihak dan prinsip-prinsip universal etika terbuka, di pihak lain. Dengan istilah-istilah kabur seperti cerita besar mereka menutup perbedaan yang prinsipil itu. Yang mempermudah adalah pendekatan ideologis dan bukan nilainilai dan prinsip-prinsip dasar moralitas yang terbuka. Dalam arti ideologi tertutup, memang bertentangan dengan martabat manusia sebagai makluk yang bertindak berdasarkan kesadaran akan baik dan buruk, yang sanggup untuk bertanggung jawab, karena ideologi selalu menuntut ketaatan mutlak. Dan yang ketiga Postmodernisme menuntut untuk menyingkirkan cerita-cerita besar demi cerita kecil atau lokal. Dengan kata lain tuntutan postmodernisme kontradiktif, memaklumkan kepada umat manusia bahwa maklumat-maklumat kepada umat manusia (cerita besar) harus ditolak sama artinya dengan memaklumatkan bahwa maklumat itu sendiri tidak perlu dihiraukan (Zaprulkhan, 2006: 322-323).

E.       KRITIK TERHADAP POSTMODERNISME

Habermas dalam bukunya, The Philosophical of Modernity, mengkritik postmodernisme menyatakan bahwa asal-usul konsep postmodernity itu sendiri harus diteliti. Habermas menyatakan ada kelemahan mendasar pemikiran kaum postmodernis tentang modernitas yang dianggap ahistoris. Para pemikir postmodernisme seakan-akan menghilangkan dimensi dan cakrawala historis yang memunculkan postmodern itu. Ali Maksum menyatakan bahwa kritik atas postmodernisme antara lain: a) Pemikir postmodernisme kurang tegas apakah mereka menciptakan teori atau mengarang sastra; b) Habermas merasa argumen para postmodernis sarat dengan sentimen normatif, namun sentimen mereka itu disembunyikan dari pembaca, Habermas mengemukakan sentimen normatifnya (kebebasan, keterbukaan, komunikasi) yang dijadikan sumber kritiknya terhadap masyarakat serta menjadi basis bagi praktis politiknya; c) Habermas mengkritik postmodernisme sebagai perspektif yang gagal membedakan fenomena dan praktik yang terjadi pada masyarakat modern. contohnya tentang pandangan dunia yang didominasi oleh kekuasaan dan pengawasan tidak memberikan peluang yang cukup baik untuk melakukan analisis yang bermakna atas sumber nyata penindasan dalam kehidupan modern; d) Pemikir postmodernisme dituduh mengabaikan praktik kehidupan dunia. Kekeliruan ini merupakan kerugian ganda bagi pemikir postmodernisme. Di satu sisi, mereka sumber penting perkembangan standar normatif. Sedangkan disisi lain, mereka menjadikan kehidupan dunia sebagai tujuan akhir karya ilmu sosial (Maksum, 2014: 340, 345-346).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MODEL MODEL KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA MENURUT HAMMER, THOMAS & KILMAN, TING TOOMEY

  Komunikasi Antar Budaya Menurut Hammer Perintis yang penting kepada kompetensi budaya ialah sensitiviti antara Budaya   Menurut Hammer, se...