Jumat, 21 Oktober 2022

Model - Model Komunikasi menurut Gudykunst & Baldwin

 A. Model Komunikasi Antarbudaya menurut Gudykunst

Model Gudykunst dan Kim menjelaskan komunikasi antarbudaya dengan orang-orang yang asing di hadapan kita. Pada dasarnya, Willia Gadykunst merasa bahwa isu sentral dalam budaya dan komunikas antarkelompok adalah kemampuan setiap orang untuk mengendalikan (mengelola) tingkat ketidakpastian mereka (kemampuan "kognitif" untuk menjelaskan dan memprediksi perilaku orang lain) dan kecemasan afektif atau ketakutan "emosional", yang mungkin terjadi dalam interaksi yang seolah tampak bodoh, ditolak, dan sebagainya. Jika seseorang bisa mengendalikan keadaan ini atau memiliki pemahaman yang lebih baik terhadap orang lain, dia akan berkomunikasi efektif dan akan lebih mampu beradaptasi.

Dalam model ini, ada dua lingkaran yang lebih besar, masing masing mewakili komunikator, kedua pihak ini akan mengirim dan menerima pesan verbal dan nonverbal. Menurut Gudykust dan Kim (1992), ketika kita membuat atau memproses pesan, kita selalu menggunakan empat filter yang berbeda.

Adapun filter - filter tersebut adalah sebagai berikut:

1. Cultural. Filter pertama adalah budaya yang me gacu pada semua elemen persepsi bersama (Gudykunst mendefinisikan budaya sebagai persepsi atau kerangka pemikiran, bukan artefak atau perilaku)

2. Socialcultural. Konsep ini berisi aspek-aspek identitas kelompok, seperti roles atau peran (Perilaku yang diharapkan dari orang berdasarkan hubungan) dan social identities (aspek yang mendefinisikan diri mereka)

3. Psychocultures. Filter ketuga adalah pikiran individu yang meliputi prejudice streotype (prasangka) uncertainty anxiety(kecemasan), Mood attitude perception of other (Persepsi).

4. Environmental. Semua komunikasi terjadi dalam konteks lingkungan yang meliputi situasi, geografi, interaksi.

  

Model Komunikasi Antarbudaya menurut Gudykunst

B. Model Komunikasi menurut Baldwin

Model ini lebih ditujukan pada adaptasi budaya dalam rangka menghadapi "kejutan budaya" dengan "kurva U". Apa itu kurva U? Apa saja empat tahapan dan seperti apa tahapan tersebut? Banyak penulis, berdasarkan karya asli Oberg (1960), telah menggambarkan akulturasi dalam beberapa tahap. Namun, untuk tujuan penjelasan model ini, kita akan menggunakan model empat tahap yang standar:

 

1.      Honeymoon. Selama periode ini, perbedaan antara budaya lama dan baru terlihat dalam cahaya romantis. Misalnya, di saat seseorang berpindah ke negara baru, dia mungkin menyukai makanan baru, kecepatan hidup, dan kebiasaan penduduk setempat. Selama beberapa minggu pertama, kebanyakan orang terpesona oleh budaya baru. Mereka bergaul dan berusaha bicara dengan warga setempat. dengan bahasa setempat. Mereka juga berusaha untuk berbicara sopan kepada warga setempat. Seperti kebanyakan periode, periode bulan madu ini toh akan berakhir.

 

2.      Crisis. Pada tahap ini ada permusuhan (selalu ada dalam stereotip). Situasi ini menurut Hall, seseorang baru mulai melihat dan mengalami "kejutan budaya." Sering kali orang terlibat dalam salah satu dari dua respons terhadap budaya setempat, misalnya: (1) "berkelahi" melawan budaya baru dengan cara tertentu, mengeluh tentang budaya baru; dan (2) flight, memisahkan diri dari budaya, baik menghabiskan waktu bersama dengan orang dari budaya sendiri, misalnya bersama-sama makan-makanan dari budaya sendiri, dan lain-lain.

 

3.      Recovery. Menurut Carley Dodd (1998), respons ketiga terhadap tekanan budaya adalah fleksibel. Pada tahap ini, "orang baru" mulai belajar berurusan, bahkan merangkul perbedaan budaya, atau bekerja sama dengan 'host' untuk memelihara stabilitas dan sikap yang baik.

 

4.      Adjustment. Setelah beberapa waktu (biasanya 6 hingga 12 bulan). terjadi satu pertumbuhan. "Orang baru" sudah terbiasa dengan budaya baru dan mengembangkan rutinitas. "Orang baru" juga akan tahu bahwa negara tuan rumah tidak lagi merasakan ada hal yang baru, namun "orang baru" menjadi prihatin dengan kehidupan baru. Seseorang mulai mengembangkan keterampilan untuk memecahkan masalah, misalnya berurusan dengan budaya dan mulai menerima cara-cara budaya setempat dengan sikap positif. Budaya baru mulai dirasa masuk akal dan reaksi negatif serta respons terhadap budaya baru semakin berkurang.

Model Komunikasi Antarbudaya menurut Baldwin


Model - Model Komunikasi Antarbudaya Menurut Samovar & Porter, Nakayama & Flores

 A. Model Komunikasi Antarbudaya menurut Samovar & Porter

1.      Penting Memahami Definisi Kebudayaan

Samovar dan Porter (2004) memulai penjelasan model komunikasi antarbudaya dengan menandaskan ulang pengertian komunikasi antarbudaya yang secara konseptual berkaitan dengan pemahaman budaya nasional. Ini merupakan prinsip dasar. Budaya adalah bangsa. Terlepas dari keingintahuan sebagian besar peneliti dan peminat studi antarbudaya bahwa di dalam suatu bangsa ada pula banyak budaya yang berbeda satu sama lain, yang lebih membutuhkan pengetahuan lintas budaya (Samovar, Porter, dan Jain, 1981). Tidaklah mengherankan jika Samovar dan Porter (2004) mendaftar lima pendekatan untuk mendefinisikan budaya, sekaligus menjadi dasar pembahasan komunikasi antarbudaya, yaitu sebagai berikut:

a. Budaya dipelajari.

b. Budaya dibagikan.

c. Budaya ditransmisikan dari generasi ke generasi.

d. Budaya didasarkan pada simbol.

e. Budaya itu dinamis.

f. Budaya adalah sistem yang terintegrasi.

Singkatnya, budaya adalah cara hidup yang dimiliki oleh orang orang dalam komunitas yang sama, yang mempelajari budaya sepanjang hidup mereka. Ada jutaan budaya di seluruh dunia sehingga ada kemungkinan besar bahwa kesalahpahaman dalam komunikasi di antara kita pasti akan terjadi. Itulah mengapa penting kita belajar tentang budaya sebagai dasar untuk belajar komunikasi antarbudaya. Memang ada beberapa bidang yang berhubungan dengan komunikasi antarbudaya seperti sosiolinguistik dan psikolinguistik, yang telah didefinisikan dengan berbagai cara. Secara umum, semuanya mengica pada komunikasi antara anggota dari setiap komunitas budaya.

Samovar dan Porter (2004) mengutip Jandt (2001) mendefinisikan komunikasi antarbudaya sebagai interaksi tatap mula antara orang-orang dari beragam budaya. Demikian juga, Samova dan Porter (2004) mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang mempunyai persepsi budaya dan sistem simbol yang berbeda serta berusaha untuk mengubah cara mereka berkomunikasi (Samovar dan Porter, 1997). Komunikasi antarbuday berkembang sebagai hasil dari perjalanan wisata, pelancongan, aktivita bisnis internasional, migrasi, dan lain-lain. Barnet dan Lee (2003) menyajikan struktur komunikasi antarbudaya yang menyebutnya sebagai pertukaran informasi budaya antara dua kelompok denga budaya yang berbeda.

1.                          2. Paham Isyarat Nonverbal

        Samovar dan Porter (2004) malah ikut membahas peranan komunika nonverbal dalam proses komunikasi antarbudaya. Komunikasi nonverbal melibatkan semua rangsangan nonverbal dalam pengaturan komunikasi yang dihasilkan oleh sumber dan penggunaannya terhadap lingkungan yang memiliki nilai pesan potensial bagi sumber penerima (Samovar dan Porter, 2004). Komunikasi nonverbal meliputi bahasa tubuh, kontak mata, ekspresi wajah, dan postur tubuh. Perhatikan bahwa ketika lingkungan yang berbeda maka tentu aka menghasilkan pesan nonverbal yang berbeda pula. Misalnya, in berperilaku berbeda dalam klub daripada di bank.

2.                      3.Menyimak Rasisme

Samovar dan Porter (2004) menyadari bahwa meskipun kita hidup di abad ke-21, rasisme masih ada, tidak hanya di Amerika Serikat, tetapi juga di dalam masyarakat di seluruh dunia. Tindakan rasis tetap menjadi masalah saat ini dalam setiap tingkat masyarakat. Situasi ini yang pernah menyulut kemarahan Martin Luther King, Jr. yang "memprotes" ketika semua anak akan dihakimi berdasarkan warna kulit mereka. Banyak komunitas Asia, Afrika-Amerika, penduduk asli Amerika Latin, dan Arab mengalami rasisme dan sulit untuk berbicara tentang konsekuensi dan efek yang ditinggalkan rasisme terhadap mereka. Namun, secara luas diketahui bahwa rasisme merusak kedua belah pihak. Rasisme terjadi karena perasaan superioritas dan individu rasis sering menganiaya orang lebih dari satu ras.

3.                        4.  Memahami Tindakan Diskriminasi dan Etnosentrisme

Masalah lain adalah sukuisme dan etnosentrisme. Etnosentrisme adalah masalah besar dalam komunikasi antarbudaya karena orang orang etnosentris menganggap diri mereka dan budaya mereka sendiri lebih unggul daripada orang lain dan menilai orang lain berdasarkan standar budaya mereka sendiri. Orang-orang dengan pikiran etnosentris berpikir bahwa cara hidup mereka adalah satu-satunya yang benar dan yang lain salah. Menurut Samovar dan Porter (2004), etnosentrisme memiliki tiga tingkatan: positif, negatif, dan sangat negatif. Tingkat pertama, yaitu positif adalah keyakinan bahwa budaya Anda lebih disukai daripada yang lain, setidaknya untuk Anda, dan tidak ada yang salah dengan keyakinan itu karena Anda menarik banyak kepribadian Anda dari budaya Anda sendiri. Ketika tiba pada tingkat negatif, budaya Anda adalah pusat dari segalanya dan semua budaya lain harus diukur dengan standar budaya Anda. Bentuk yang sangat negatif dari etnosentrisme adalah keyakinan bahwa budaya Anda tidak hanya yang terbaik, tetapi juga yang paling kuat dan bahwa semua budaya lain harus mengadopsi nilai dan norma Anda.

4.                     5. Kompetensi Komunikasi Antarbudaya

Satu-satunya cara untuk menjadi sukses dalam lingkungan kerja semacam itu adalah berinteraksi secara tepat dalam bahasa asing dengan orang-orang dari budaya lain. Pengetahuan tentang budaya lain dan pola budaya mereka adalah cara terbaik untuk berteman dengan rekan kerja Anda dan menemukan sekaligus memberikan dukungan pula kepada pihak lain. Samovar dan Porter 2004) mengatakan bahwa komunikator antarbudaya yang kompeten adalah orang yang memiliki kemampuan untuk berinteraksi secara efektif dan tepat dengan anggota dari latar belakang budaya-bahasa lain termasuk term atau istilah yang mereka gunakan.

5.                     6. Sadar Tentang Kejutan Budaya

Samovar dan Porter (2004) mencatat beberapa reaksi yang mungkin dirasakan seseorang ketika menyesuaikan diri dengan budaya baru, misalnya pertentangan terhadap lingkungan baru, rasa disorientasi, perasaan penolakan, kerinduan, sakit perut dan sakit kepala, penarikan diri, dan banyak lagi, tetapi tidak semua orang merespons kejutan budaya dengan cara yang sama atau setiap orang membutuhkan jumlah waktu yang sama untuk menyesuaikan diri.

6.                      7. Rancangan Model

Model ini menunjukkan ada tiga orang yang berbeda budaya dan mereka saling berkomunikasi Model ini juga menampilkan bagaimana cara dua individu (misalnya. dalam kelas atau organisasi yang berbeda) menciptakan "budaya baru” dalam budayanya yang variannya bersumber dari kebudayaan asal dan kebudayaan orang kedua yang ditemui. Contoh yang baik untuk ini adalah perkawinan antarbudaya yang menggabungkan seorang perempuan dan lelaki yang juga menggabungkan budaya dua keluarga besar.

Model Komunikasi Antarbudaya dari Samovar & Porter






Sekurangnya-kurangnya ada tiga keutamaan model ini, yaitu sebagai berikut:

a. Cultures vary in how different they are from each other. Setiap budaya mempunyai banyak varian. Varian-varian itulah yang ditampilkan sebagai perbedaan dari ketiga orang tersebut. Perhatikan, dua orang (pada gambar ada pada bagian atas) lebih dekat daripada dengan orang ketiga (pada gambar ada di bagian bawah), kedekatan itu tergambar pula oleh kesamaan simbol-simbol keduanya yang lebih geometris dibandingkan dengan orang ketiga.

bIndividuals are not the same as cultures. Keberadaan seorang individu tidak selalu sama dan identik dengan budaya mereka. Pada gambar di atas ditunjukkan bahwa simbol-simbol yang ada, baik di dalam kotak maupun lingkaran tidak sama persis dengan simbol-simbol yang ada di luar. Artinya begini, pada awalnya semua individu dapat dibentuk dalam simbol-simbol budaya yang sama, namun ketika berhadapan dengan orang kedua atau ketiga, mereka dapat menampilkan simbol-simbol budaya yang bisa sama dan bisa berbeda, atau simbol ciptaan baru karena berhadapan dengan budaya orang kedua atau orang ketiga.

c. Cultures shape the way we process and create messages. Ingat pula bahwa budaya (melalui persepsi individu) membentuk cara kita memproses dan menciptakan pesan. Perhatikan bahwa ketika kita mendengar pesan dari budaya lain, karena kita tidak memiliki simbol atau makna untuk memahaminya, kita cenderung atau membutuhkan cara dalam budaya kita untuk memahaminya.


B. Model Komunikasi Antarbudaya Menurut Nakayama & Flores

Model Martin, Nakayama, dan Flores merupakan model yang mengkritik model Neuliep, yang sebagiannya diakui berdasarkan pendekatan "klasik" Gudykunst dan Kim. Martin, dkk., menyatakan bahwa pendekatan Neuliep itu terlalu linier karena masih mengandalkan variabel tertentu untuk memprediksi hasil komunikasi antarbudaya Kritik dialektikal dari model ini berkisar pada argumen bahwa dalam kenyataannya, kita sulit "memprediksi" hasil komunikasi sebagaimana disebut-sebut dalam teori ilmiah tradisional. Banyak ahli berpendapat bahwa, dalam kenyataannya, komunikasi berhadapan dengan situasi "ketidakpastian" atau "ketegangan", dan salah satu pasangan dalam interaksi mungkin lebih suka melakukan "prediksi" dan "kebaruan" sebagai cara yang lain. Model ini berasumsi bahwa "prediksi" dan "kebaruan" (novelty) merupakan dua sisi yang berlawanan, namun biasa digunakan untuk menghadapi situasi ketidakpastian dan ketegangan itu.

Beberapa contohnya adalah sebagai berikut:

1. 1. Cultural Individual. Kita sering berada pada situasi ini, yaitu ketegangan antara "budaya" dan "individu". Waktu kita berkomunikasi dengan orang lain interaksi kita dapat men cerminkan beberapa keseimbangan, tidak saja identitas pribadi dan kepribadian, tetapi juga mencari keseimbangan atas pengaruh budaya. Keseimbangan yang tepat memang selalu berubah dari orang yang satu ke orang lain, bahkan juga mengikuti alur dari suatu waktu ke waktu lain. Betapa sering kita mulai mempelajari script communication' untuk mengenal satu sama lain lebih baik. Jika ini terjadi, kita dapat membuat prediksi lebih berdasarkan pada aspek-aspek perilaku pribadi orang lain karena pada sisi ini pengaruh budaya masih kurang

2.  2. Personal <-> Social-Contextual. Bayangkan, ketika saya sebagai profesor berhadapan dengan seorang mahasiswa, perilaku kami berbasis pada status dan peran masing-masing. Sebagian besar perilaku kami, meskipun ada dalam ruang dan waktu tertentu. tetap berbasis pada status dan peran tersebut. Di sini selalu ada semacam "harapan" yang diidealkan oleh konteks hubungan atau konteks untuk memenuhi peran. Jadi, saya mengharapkan mahasiswa saya harus mengikuti apa yang saya jelaskan, mahasiswa juga mengharapkan penjelasan sebagaimana yang dia kehendaki. Artinya, jika harapan-harapan tersebut tidak diselesaikan dalam konteks itu, diperlukan konteks lain yang sama dari waktu ke waktu, dari situasi ke situasi tertentu.

3. 3. Differences <-> Similarities. Betapa sering kita berkomunikasi dalam keadaan yang "berbeda" dan "kesamaan", Kita patut memperhatikan hal ini, namun jangan sampai membuat komunikasi tidak berjalan sama sekali. Di sini telah terjadi ketegangan karena kita sama-sama berhadapan dengan kesamaan atau perbedaan budaya.

4. 4. Static <-> Dynamic. Ketika kita berkomunikasi, selalu ada situasi di mana ada pihak yang mempertahankan budayanya dan ada pihak yang menghendaki perubahan budaya. Ada pulla pihak yang menjaga stabilitas budaya, namun ada pihak yang menghendaki perubahan budaya. Jadi, sekurang-kurangnya dua situasi ini dalam komunikasi antarbudaya. Menurut pendekatan dialektis, perubahan dan stabilitas menandai semua budaya (termasuk budaya organisasi dan agama sekalipun). Dalam setiap kehidupan manusia, selalu ada pihak yang bekerja untuk mempertahankan stabilitas, namun harus berhadapan dengan pihak yang menghendaki perubahan,

5.  5. Present-Future <-> History-Past. Menurut pandangan dialektis, ada semacam 'drive' yang berusaha untuk berjuang dan maju ke depan, namun ada pihak lebih suka melihat kembali ke waktu yang lalu. Beberapa budaya menjadikan budaya sebagai rujukan untuk melakukan perubahan atau menjadi masyarakat yang konservat Situasi ini ada sebagai dialektis dalam komunikasi antarbudaya

6. 6. Privilege <-> Disadvantage. Banyak ahli dan penulis mengemukakan bahwa semua interaksi, khususnya interaksi antarbudaya, memiliki hubungan berbasis kekuasaan di mana ada beberapa orang memil privilege sosial yang lebih tinggi (secara sosial, ekonomi, dan politik) daripada yang lain, yang tidak beruntung. Ini merupakan sebuah ketegangan kekuasaan yang dalam kebanyakan budaya ditampilkan secara nyata atau tidak nyata. Situasi itu ada dalam komunikasi keseharian.


 

Model Komunikasi Antarbudaya Menurut Nakayama & Flores



Jumat, 14 Oktober 2022

Model - Model Komunikasi Antarbuday Menurut Dodd & Bennett

             Komunikasi merupakan sebuah proses penyampaian pesan dari komunikator ke komunikasi baik dengan media tertentu ataupun tidak. Komunikasi menyentuh sebagian besar kehidupan manusia dan setiap orang pasti berkomunikasi. Sebanyak 70 % waktu bangun kita gunakan untuk berkomunikasi. Oleh sebab itu, komunikasi penting bagi manusia dan manusia tidak bias menghindarinya, apalagi model komunikasi yang dihasilakan itu sangat menentukan kualitas hidup seseorang ( Rachmat dalam Wijaya, 1999, P.89 ). Dalam pengaplikasiannya, komunikasi sebagai suatu proses, tentu saja didukung oleh adanya komponen‐komponenkomunikasi seperti komunikator, pesan, medium atau saluran, noise, komunikasi, dan feedback.

            (Imanuel Virgini Olaga Natalia, 2007) Model komunikasi yang dihasilkan oleh tiap pelaku komunikasi itu berbeda‐beda. Perbedaan ini tidak lain disebabkan oleh adanya perbedaan kerangka berpikir dan latar belakang pengalaman seseorang (frame of references and fields of experiences ). Dan jika ditarik ke belakang lagi, sebenarnya perbedaan frame of references and fields of experiences tersebut merupakan hasil dari budaya setiap orang yang berbeda pula. Budaya adalah suatu konsep yang membangkitkan minat. Secara formal, budaya dapat didefinisikan sebagai suatu pola menyeluruh.  ( Mulyana dan Rahmat, 2002, p.26 ) Budaya menampakkan diri dalam pola‐pola bahasa dalam bentuk‐bentuk kegiatan dan perilaku yang berfungsi sebagai model bagi tindakan‐tindakan penyesuaian diri dan gaya komunikasi yang memungkinkan orang tinggal dalam suatu masyarakat di suatu lingkungan goegrafis tertentu pada suatu tingkat perkembangan teknis tertentu dan pada suatu saat tertentu. Hubungan antar budaya dan komunikasi bersifat timbale balik dan saling mempengaruhi. Apa yang kita bicarakan, bagaimanan kita membicarakannya, apa yang kita perhatikan atau abaikan, apa yang kita pikirkan dan bagaimana kita memikirkannya dipengaruhi budaya. Pada gilirannya, apa yang kita bicarakan dan bagaimana kita membicarakannya, dan apa yang kita lihat turut membentuk, menentukan dan menghidupkan budaya kita. Budaya takkan hidup tanpa komunikasi, begitu juga sebaliknya. Masing‐masing tak dapat berubah tanpa menyebabkan perubahan pada lainnya.

1. Model Komunikasi Antarbudaya menurut Dodd

    Model Dodd menjelaskan bahwa ketika dua orang membangun komunikasi, masing-masing pihak seharusnya sudah mengetahui dan menerima perbedaan relasional antarpribadi berdasarkan data dan latar belakang kebudayaan (Perceived Cultural Differences, PCDS). Artinya, model ini menjadikan "persepsi" sebagai bagian utama dari teorinya dengan asumsi dasar bahwa semua perbedaan budaya dan pribadi dimediasi melalui persepsi.
    PCDS dapat menyebabkan situasi ketidakpastian yang terlihat di antara dua pihak, dari sini pula muncul reaksi perilaku yang dikemas dalam strategi fungsional atau disfungsional untuk mengatasi situasi. Hal yang bermanfaat dengan strategi disfungsional itu mencakup stereotip, menarik diri (menarik diri), menolak, atau membangun permusuhan. Sementara itu, pada tingkat yang lebih fungsional terjadi, para pelanggan tertarik untuk menemukan faktor adaptif, atau cara lain yang lebih positif, yang dapat dijadikan landasan bersama dalam membangun hubungan di antara mereka. Dodd menyebutnya sebagai membangun "budaya ketiga".

Model PCDS menurut Dodd

Gambar 1.1 Pengaruh Bahasa, Pengalaman, Kemampuan Kognitif Terhadap Pandangan Dunia dalam Komunikasi Antarbudaya

Model komunikasi antarbudaya ini sangat mirip dengan model komunikasi antarbudaya umumnya, namun dengan menggabungkan komponen budaya. Dodd (1997) menciptakan representasi model yang menggambarkan bahwa Ketika orang dari dua budaya yang berbeda berkomunikasi, Ketika kondisi seorang dari dari budaya X menjadi lebih mirip dengan seorang dari budaya Y, interaksi berkurang. Sebaliknya, jika kondisi kedua orang itu sangat berbeda, interaksi lebih sulit. Kondisi ini dapat mencakup Bahasa yang digunakan, pengalaman, kemampuan kognitif, dan pandangan dunia. Jumlah tumpang tindih kedua lingkaran menunjukan seberapa besar interaksi lintas budaya dapat difasilitasi melalui kondisi bersama.

Dodd (1977) menekankan bahwa komunikasi adalah suatu proses. Bidang tumpang tindih dalam model “memang” tidak menggambarkan proses komunikasi sehingga dia mengusulkan model anteseden-proses-konsekuensi untuk menjelaskan proses komunikasi secara menyeluruh. 

Gambar 1.2 Model proses Anteseden dan Konsekuen

            Menurut Dodd, proses komunikasi terdiri dari pengaruh variable anteseden berupa “kondisi” yang akan menghasilkan konsekuensi “kondisi” tertentu. Dalam komunikasi antarbudaya, budaya mewakili kondisi anteseden. Perilaku komunikasi adalah proses interaksi komunikator dan hasilnya adalah konsekuensi kondisi tertentu pula.

2. Model Komunikasi Antarbudaya menurut Bennett

Model ini sering dikenal sebagai Developmental Model of Intercultural Sensitivity (DMIS), yang untuk pertama kali diperkenalkan oleh Milton Bennett (1980). Menurut Bennett, model ini dapat menggambarkan kerangka kerja atau cara-cara yang berbeda di mana orang dapat bereaksi terhadap perbedaan budaya. Kata Bennett, individu dapat menjadi orang yang berkompeten dalam relasi antarbudaya hanya melalui proses pengembangan. Tidak ada orang yang terlahir langsung memiliki kompetensi antarbudaya, demikian pula tidak seorang pun langsung memiliki kompetensi antarbudaya hanya karena dia tinggal dalam lingkungan masyarakat multikultural.

Model Bennett juga mengemukakan bahwa setiap orang-secara alami memulai pola pikir berbasis etnosentris. Akibatnya, dia akan memandang dan menilai dunia orang lain melalui lensa budaya dia sendiri. Namun, ketika individu bertemu dengan orang-orang lain atau lantaran dipengaruhi oleh beragam faktor seperti media atau pergaulan, sikap etnosentris dia mulai berkurang Menurut Bennet, ada beberapa tahapan dalam pembentukan kepekaan budaya terhadap budaya sendiri atau budaya orang lain, yaitu sebagai berikut:

1.      Denial of difference. Pada tahapan ini, individu mengalami budayanya sendiri sebagai satu-satunya budaya yang nyata. Individu cenderung mencatat budaya lain sebagai budaya yang berbeda, sekecil apa pun perbedaan itu sehingga dia tidak harus mengerti budaya lain. Umumnya orang-orang dengan tipe etnosentris cenderung menolak budaya lain. Reaksi mereka menjadi agresif ketika menerima perbedaan budaya lain. Bahkan mereka berusaha keras untuk menghindari atau menghilangkan budaya orang lain dari ingkungannya. Meskipun mereka tampaknya tidak menantang kehadiran budaya yang berbeda, yang ada di tengah-tengah mereka, mereka menghabiskan sebagian besar waktu untuk membuat semacam isolasi fisik atau sosial agar mereka tidak berhadapan dengan budaya orang lain.

2.  Defense against difference. Pada tahapan ini, setiap orang mempertahankan kebudayaan mereka terhadap perbedaan. Mereka berasumsi bahwa satu-satunya budaya yang harus dikembangkan adalah budaya sendiri. Inilah cara-cara terbaik untuk hidup. Posisi ini ditandai dengan sikap dualistis akan muncul rasa "kami" lawan "mereka" dalam pernyataan stereotip negatif secara terang terangan. Mereka secara terbuka meremehkan budaya orang lain, merendahkan ras, jenis kelamin, atau indikator lain. Mereka juga sangat terbuka menyatakan ancaman terhadap perbedaan budaya sehingga mereka lebih mungkin bertindak agresif terhadap perbedaan. Kebalikan dari sikap budaya mempertahankan budaya sendiri adalah mengagungkan budaya orang lain, artinya terjadi proses devaluasi budaya sendiri lalu meromantisasi budaya orang lain sebagai budaya yang superior.

3.   Minimization of difference. Pada tahapan ini seseorang mulai meminimalisasi pelbagai hal yang dianggap berbeda, dan pengalaman dalam kebersamaan melebihi pengalaman perbedaan. Pada umumnya, masyarakat menyadari ada perbedaan kecil-kecil antarbudaya, misalnya perbedaan rasa makanan, minuman, kebiasaan-kebiasaan kecil dalam percakapan, dan lain-lain. Umumnya pada tahapan, orang mulai menekankan kesamaan antarmanusia, seperti struktur fisik dan kebutuhan psikologis. Mereka berasumsi bahwa inilah nilai-nilai universal yang dibutuhkan semua orang. Mereka yang berada di posisi ini tidak lagi etnosentris. Mereka lebih cenderung melebih-lebihkan toleransi antarbudaya. Mereka juga mulai mengabaikan efek budaya seperti "hak-hak istimewa" dari budaya mereka sendiri. Mereka mengadopsi sudut pandang lain dengan mendekati situasi antarbudaya dengan jaminan kesadaran yang paling sederhana. Katanya, hanya dengan mengimplementasikan pola dasar interaksi manusia, kebersamaan akan cukup untuk menjamin keberhasilan komunikasi.

4.    Acceptance of difference. Pada tahapan ini, orang mulai menerima perbedaan. Mereka yang berada pada posisi ini mulai menerima keberadaan budaya yang berbeda. Budaya lain sebagai bagian yang juga mengatur eksistensi manusia, meskipun mereka tidak selalu suka atau setuju dengan segala hal dari budaya lain. Mereka dapat mengidentifikasi bagaimana budaya memengaruhi berbagai pengalaman manusia. Mereka juga memiliki kerangka kerja untuk mengatur bagaimana harus melakukan pengamatan dalam perbedaan budaya. Kita harus mengakui bahwa orang-orang yang berada pada tahapan ini bersemangat untuk berkomunikasi dengan orang lain. Hal ini mencerminkan bahwa mereka sudah mempunyai keinginan untuk mengurangi prasangka. Kata kunci tahapan adalah "mengenal "atau "belajar."

5.   Adaptation to difference. Tahapan ini merupakan tahap adaptasi terhadap perbedaan. Pada posisi ini orang dapat memperluas pandangan dunia mereka sendiri dan secara akurat memahami budaya dan perilaku orang-orang dari budaya lain. Mereka secara efektif bersikap empati. Ini sebagai tanda bahwa mereka mulai menggeser sikap menerima perbedaan untuk memahami dan dipahami oleh budaya sendiri dan budaya orang lain. Jadi, sudah ada proses pelintasan batas-batas budaya. Proses lintas budaya ini merupakan salah satu kemampuan untuk bertindak secara benar, tepat, dan jelas di luar budaya sendiri. Pada tahap ini seseorang akan mampu memulai percakapan dengan tema-tema budaya orang lain, yang sebelumnya merupakan aspek yang berbeda.

Gambar 1.3 Developmental Model of Intercultural Sensitivity

6.  Integration of difference. Pada tahapan ini orang mulai mengintegrasikan perbedaan. Mulai terjadi bahwa pengalaman diri diperluas sehingga mencakup mengintegrasikan pandangan dari budaya sendiri dengan budaya orang lain. Individu. Pada posisi ini, tidak lagi merasa diri sebagai orang "marginal". Mereka merasa sudah memasuki atau sudah berada di dalam budaya orang lain.

MODEL MODEL KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA MENURUT HAMMER, THOMAS & KILMAN, TING TOOMEY

  Komunikasi Antar Budaya Menurut Hammer Perintis yang penting kepada kompetensi budaya ialah sensitiviti antara Budaya   Menurut Hammer, se...