Komunikasi merupakan sebuah proses penyampaian pesan dari komunikator ke komunikasi baik dengan media tertentu ataupun tidak. Komunikasi menyentuh sebagian besar kehidupan manusia dan setiap orang pasti berkomunikasi. Sebanyak 70 % waktu bangun kita gunakan untuk berkomunikasi. Oleh sebab itu, komunikasi penting bagi manusia dan manusia tidak bias menghindarinya, apalagi model komunikasi yang dihasilakan itu sangat menentukan kualitas hidup seseorang ( Rachmat dalam Wijaya, 1999, P.89 ). Dalam pengaplikasiannya, komunikasi sebagai suatu proses, tentu saja didukung oleh adanya komponen‐komponenkomunikasi seperti komunikator, pesan, medium atau saluran, noise, komunikasi, dan feedback.
Model
komunikasi antarbudaya ini sangat mirip dengan model komunikasi antarbudaya
umumnya, namun dengan menggabungkan komponen budaya. Dodd (1997) menciptakan
representasi model yang menggambarkan bahwa Ketika orang dari dua budaya yang
berbeda berkomunikasi, Ketika kondisi seorang dari dari budaya X menjadi lebih
mirip dengan seorang dari budaya Y, interaksi berkurang. Sebaliknya, jika
kondisi kedua orang itu sangat berbeda, interaksi lebih sulit. Kondisi ini
dapat mencakup Bahasa yang digunakan, pengalaman, kemampuan kognitif, dan
pandangan dunia. Jumlah tumpang tindih kedua lingkaran menunjukan seberapa
besar interaksi lintas budaya dapat difasilitasi melalui kondisi bersama.
Dodd (1977) menekankan bahwa komunikasi adalah suatu
proses. Bidang tumpang tindih dalam model “memang” tidak menggambarkan proses
komunikasi sehingga dia mengusulkan model anteseden-proses-konsekuensi untuk
menjelaskan proses komunikasi secara menyeluruh.
Gambar
1.2 Model proses Anteseden dan Konsekuen
Model ini
sering dikenal sebagai Developmental Model of Intercultural Sensitivity (DMIS),
yang untuk pertama kali diperkenalkan oleh Milton Bennett (1980). Menurut
Bennett, model ini dapat menggambarkan kerangka kerja atau cara-cara yang
berbeda di mana orang dapat bereaksi terhadap perbedaan budaya. Kata Bennett,
individu dapat menjadi orang yang berkompeten dalam relasi antarbudaya hanya
melalui proses pengembangan. Tidak ada orang yang terlahir langsung memiliki
kompetensi antarbudaya, demikian pula tidak seorang pun langsung memiliki
kompetensi antarbudaya hanya karena dia tinggal dalam lingkungan masyarakat
multikultural.
Model Bennett
juga mengemukakan bahwa setiap orang-secara alami memulai pola pikir berbasis etnosentris.
Akibatnya, dia akan memandang dan menilai dunia orang lain melalui lensa budaya
dia sendiri. Namun, ketika individu bertemu dengan orang-orang lain atau
lantaran dipengaruhi oleh beragam faktor seperti media atau pergaulan, sikap
etnosentris dia mulai berkurang
1.
Denial
of difference. Pada tahapan ini, individu mengalami budayanya sendiri sebagai
satu-satunya budaya yang nyata. Individu cenderung mencatat budaya lain sebagai
budaya yang berbeda, sekecil apa pun perbedaan itu sehingga dia tidak harus
mengerti budaya lain. Umumnya orang-orang dengan tipe etnosentris cenderung
menolak budaya lain. Reaksi mereka menjadi agresif ketika menerima perbedaan
budaya lain. Bahkan mereka berusaha keras untuk menghindari atau menghilangkan
budaya orang lain dari ingkungannya. Meskipun mereka tampaknya tidak menantang
kehadiran budaya yang berbeda, yang ada di tengah-tengah mereka, mereka
menghabiskan sebagian besar waktu untuk membuat semacam isolasi fisik atau
sosial agar mereka tidak berhadapan dengan budaya orang lain.
2. Defense
against difference. Pada tahapan ini, setiap orang mempertahankan kebudayaan
mereka terhadap perbedaan. Mereka berasumsi bahwa satu-satunya budaya yang
harus dikembangkan adalah budaya sendiri. Inilah cara-cara terbaik untuk hidup.
Posisi ini ditandai dengan sikap dualistis akan muncul rasa "kami"
lawan "mereka" dalam pernyataan stereotip negatif secara terang
terangan. Mereka secara terbuka meremehkan budaya orang lain, merendahkan ras,
jenis kelamin, atau indikator lain. Mereka juga sangat terbuka menyatakan
ancaman terhadap perbedaan budaya sehingga mereka lebih mungkin bertindak
agresif terhadap perbedaan. Kebalikan dari sikap budaya mempertahankan budaya
sendiri adalah mengagungkan budaya orang lain, artinya terjadi proses devaluasi
budaya sendiri lalu meromantisasi budaya orang lain sebagai budaya yang
superior.
3. Minimization
of difference. Pada tahapan ini seseorang mulai meminimalisasi pelbagai hal
yang dianggap berbeda, dan pengalaman dalam kebersamaan melebihi pengalaman
perbedaan. Pada umumnya, masyarakat menyadari ada perbedaan kecil-kecil
antarbudaya, misalnya perbedaan rasa makanan, minuman, kebiasaan-kebiasaan
kecil dalam percakapan, dan lain-lain. Umumnya pada tahapan, orang mulai
menekankan kesamaan antarmanusia, seperti struktur fisik dan kebutuhan
psikologis. Mereka berasumsi bahwa inilah nilai-nilai universal yang dibutuhkan
semua orang. Mereka yang berada di posisi ini tidak lagi etnosentris. Mereka
lebih cenderung melebih-lebihkan toleransi antarbudaya. Mereka juga mulai
mengabaikan efek budaya seperti "hak-hak istimewa" dari budaya mereka
sendiri. Mereka mengadopsi sudut pandang lain dengan mendekati situasi
antarbudaya dengan jaminan kesadaran yang paling sederhana. Katanya, hanya
dengan mengimplementasikan pola dasar interaksi manusia, kebersamaan akan cukup
untuk menjamin keberhasilan komunikasi.
4. Acceptance
of difference. Pada tahapan ini, orang mulai menerima perbedaan. Mereka yang
berada pada posisi ini mulai menerima keberadaan budaya yang berbeda. Budaya
lain sebagai bagian yang juga mengatur eksistensi manusia, meskipun mereka
tidak selalu suka atau setuju dengan segala hal dari budaya lain. Mereka dapat
mengidentifikasi bagaimana budaya memengaruhi berbagai pengalaman manusia.
Mereka juga memiliki kerangka kerja untuk mengatur bagaimana harus melakukan
pengamatan dalam perbedaan budaya. Kita harus mengakui bahwa orang-orang yang
berada pada tahapan ini bersemangat untuk berkomunikasi dengan orang lain. Hal
ini mencerminkan bahwa mereka sudah mempunyai keinginan untuk mengurangi
prasangka. Kata kunci tahapan adalah "mengenal "atau
"belajar."
5. Adaptation
to difference. Tahapan ini merupakan tahap adaptasi terhadap perbedaan. Pada
posisi ini orang dapat memperluas pandangan dunia mereka sendiri dan secara
akurat memahami budaya dan perilaku orang-orang dari budaya lain. Mereka secara
efektif bersikap empati. Ini sebagai tanda bahwa mereka mulai menggeser sikap
menerima perbedaan untuk memahami dan dipahami oleh budaya sendiri dan budaya
orang lain. Jadi, sudah ada proses pelintasan batas-batas budaya. Proses lintas
budaya ini merupakan salah satu kemampuan untuk bertindak secara benar, tepat,
dan jelas di luar budaya sendiri. Pada tahap ini seseorang akan mampu memulai
percakapan dengan tema-tema budaya orang lain, yang sebelumnya merupakan aspek
yang berbeda.
Gambar 1.3 Developmental Model of Intercultural Sensitivity
6. Integration of difference. Pada tahapan ini orang mulai mengintegrasikan perbedaan. Mulai terjadi bahwa pengalaman diri diperluas sehingga mencakup mengintegrasikan pandangan dari budaya sendiri dengan budaya orang lain. Individu. Pada posisi ini, tidak lagi merasa diri sebagai orang "marginal". Mereka merasa sudah memasuki atau sudah berada di dalam budaya orang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar