Jumat, 14 Oktober 2022

Model - Model Komunikasi Antarbuday Menurut Dodd & Bennett

             Komunikasi merupakan sebuah proses penyampaian pesan dari komunikator ke komunikasi baik dengan media tertentu ataupun tidak. Komunikasi menyentuh sebagian besar kehidupan manusia dan setiap orang pasti berkomunikasi. Sebanyak 70 % waktu bangun kita gunakan untuk berkomunikasi. Oleh sebab itu, komunikasi penting bagi manusia dan manusia tidak bias menghindarinya, apalagi model komunikasi yang dihasilakan itu sangat menentukan kualitas hidup seseorang ( Rachmat dalam Wijaya, 1999, P.89 ). Dalam pengaplikasiannya, komunikasi sebagai suatu proses, tentu saja didukung oleh adanya komponen‐komponenkomunikasi seperti komunikator, pesan, medium atau saluran, noise, komunikasi, dan feedback.

            (Imanuel Virgini Olaga Natalia, 2007) Model komunikasi yang dihasilkan oleh tiap pelaku komunikasi itu berbeda‐beda. Perbedaan ini tidak lain disebabkan oleh adanya perbedaan kerangka berpikir dan latar belakang pengalaman seseorang (frame of references and fields of experiences ). Dan jika ditarik ke belakang lagi, sebenarnya perbedaan frame of references and fields of experiences tersebut merupakan hasil dari budaya setiap orang yang berbeda pula. Budaya adalah suatu konsep yang membangkitkan minat. Secara formal, budaya dapat didefinisikan sebagai suatu pola menyeluruh.  ( Mulyana dan Rahmat, 2002, p.26 ) Budaya menampakkan diri dalam pola‐pola bahasa dalam bentuk‐bentuk kegiatan dan perilaku yang berfungsi sebagai model bagi tindakan‐tindakan penyesuaian diri dan gaya komunikasi yang memungkinkan orang tinggal dalam suatu masyarakat di suatu lingkungan goegrafis tertentu pada suatu tingkat perkembangan teknis tertentu dan pada suatu saat tertentu. Hubungan antar budaya dan komunikasi bersifat timbale balik dan saling mempengaruhi. Apa yang kita bicarakan, bagaimanan kita membicarakannya, apa yang kita perhatikan atau abaikan, apa yang kita pikirkan dan bagaimana kita memikirkannya dipengaruhi budaya. Pada gilirannya, apa yang kita bicarakan dan bagaimana kita membicarakannya, dan apa yang kita lihat turut membentuk, menentukan dan menghidupkan budaya kita. Budaya takkan hidup tanpa komunikasi, begitu juga sebaliknya. Masing‐masing tak dapat berubah tanpa menyebabkan perubahan pada lainnya.

1. Model Komunikasi Antarbudaya menurut Dodd

    Model Dodd menjelaskan bahwa ketika dua orang membangun komunikasi, masing-masing pihak seharusnya sudah mengetahui dan menerima perbedaan relasional antarpribadi berdasarkan data dan latar belakang kebudayaan (Perceived Cultural Differences, PCDS). Artinya, model ini menjadikan "persepsi" sebagai bagian utama dari teorinya dengan asumsi dasar bahwa semua perbedaan budaya dan pribadi dimediasi melalui persepsi.
    PCDS dapat menyebabkan situasi ketidakpastian yang terlihat di antara dua pihak, dari sini pula muncul reaksi perilaku yang dikemas dalam strategi fungsional atau disfungsional untuk mengatasi situasi. Hal yang bermanfaat dengan strategi disfungsional itu mencakup stereotip, menarik diri (menarik diri), menolak, atau membangun permusuhan. Sementara itu, pada tingkat yang lebih fungsional terjadi, para pelanggan tertarik untuk menemukan faktor adaptif, atau cara lain yang lebih positif, yang dapat dijadikan landasan bersama dalam membangun hubungan di antara mereka. Dodd menyebutnya sebagai membangun "budaya ketiga".

Model PCDS menurut Dodd

Gambar 1.1 Pengaruh Bahasa, Pengalaman, Kemampuan Kognitif Terhadap Pandangan Dunia dalam Komunikasi Antarbudaya

Model komunikasi antarbudaya ini sangat mirip dengan model komunikasi antarbudaya umumnya, namun dengan menggabungkan komponen budaya. Dodd (1997) menciptakan representasi model yang menggambarkan bahwa Ketika orang dari dua budaya yang berbeda berkomunikasi, Ketika kondisi seorang dari dari budaya X menjadi lebih mirip dengan seorang dari budaya Y, interaksi berkurang. Sebaliknya, jika kondisi kedua orang itu sangat berbeda, interaksi lebih sulit. Kondisi ini dapat mencakup Bahasa yang digunakan, pengalaman, kemampuan kognitif, dan pandangan dunia. Jumlah tumpang tindih kedua lingkaran menunjukan seberapa besar interaksi lintas budaya dapat difasilitasi melalui kondisi bersama.

Dodd (1977) menekankan bahwa komunikasi adalah suatu proses. Bidang tumpang tindih dalam model “memang” tidak menggambarkan proses komunikasi sehingga dia mengusulkan model anteseden-proses-konsekuensi untuk menjelaskan proses komunikasi secara menyeluruh. 

Gambar 1.2 Model proses Anteseden dan Konsekuen

            Menurut Dodd, proses komunikasi terdiri dari pengaruh variable anteseden berupa “kondisi” yang akan menghasilkan konsekuensi “kondisi” tertentu. Dalam komunikasi antarbudaya, budaya mewakili kondisi anteseden. Perilaku komunikasi adalah proses interaksi komunikator dan hasilnya adalah konsekuensi kondisi tertentu pula.

2. Model Komunikasi Antarbudaya menurut Bennett

Model ini sering dikenal sebagai Developmental Model of Intercultural Sensitivity (DMIS), yang untuk pertama kali diperkenalkan oleh Milton Bennett (1980). Menurut Bennett, model ini dapat menggambarkan kerangka kerja atau cara-cara yang berbeda di mana orang dapat bereaksi terhadap perbedaan budaya. Kata Bennett, individu dapat menjadi orang yang berkompeten dalam relasi antarbudaya hanya melalui proses pengembangan. Tidak ada orang yang terlahir langsung memiliki kompetensi antarbudaya, demikian pula tidak seorang pun langsung memiliki kompetensi antarbudaya hanya karena dia tinggal dalam lingkungan masyarakat multikultural.

Model Bennett juga mengemukakan bahwa setiap orang-secara alami memulai pola pikir berbasis etnosentris. Akibatnya, dia akan memandang dan menilai dunia orang lain melalui lensa budaya dia sendiri. Namun, ketika individu bertemu dengan orang-orang lain atau lantaran dipengaruhi oleh beragam faktor seperti media atau pergaulan, sikap etnosentris dia mulai berkurang Menurut Bennet, ada beberapa tahapan dalam pembentukan kepekaan budaya terhadap budaya sendiri atau budaya orang lain, yaitu sebagai berikut:

1.      Denial of difference. Pada tahapan ini, individu mengalami budayanya sendiri sebagai satu-satunya budaya yang nyata. Individu cenderung mencatat budaya lain sebagai budaya yang berbeda, sekecil apa pun perbedaan itu sehingga dia tidak harus mengerti budaya lain. Umumnya orang-orang dengan tipe etnosentris cenderung menolak budaya lain. Reaksi mereka menjadi agresif ketika menerima perbedaan budaya lain. Bahkan mereka berusaha keras untuk menghindari atau menghilangkan budaya orang lain dari ingkungannya. Meskipun mereka tampaknya tidak menantang kehadiran budaya yang berbeda, yang ada di tengah-tengah mereka, mereka menghabiskan sebagian besar waktu untuk membuat semacam isolasi fisik atau sosial agar mereka tidak berhadapan dengan budaya orang lain.

2.  Defense against difference. Pada tahapan ini, setiap orang mempertahankan kebudayaan mereka terhadap perbedaan. Mereka berasumsi bahwa satu-satunya budaya yang harus dikembangkan adalah budaya sendiri. Inilah cara-cara terbaik untuk hidup. Posisi ini ditandai dengan sikap dualistis akan muncul rasa "kami" lawan "mereka" dalam pernyataan stereotip negatif secara terang terangan. Mereka secara terbuka meremehkan budaya orang lain, merendahkan ras, jenis kelamin, atau indikator lain. Mereka juga sangat terbuka menyatakan ancaman terhadap perbedaan budaya sehingga mereka lebih mungkin bertindak agresif terhadap perbedaan. Kebalikan dari sikap budaya mempertahankan budaya sendiri adalah mengagungkan budaya orang lain, artinya terjadi proses devaluasi budaya sendiri lalu meromantisasi budaya orang lain sebagai budaya yang superior.

3.   Minimization of difference. Pada tahapan ini seseorang mulai meminimalisasi pelbagai hal yang dianggap berbeda, dan pengalaman dalam kebersamaan melebihi pengalaman perbedaan. Pada umumnya, masyarakat menyadari ada perbedaan kecil-kecil antarbudaya, misalnya perbedaan rasa makanan, minuman, kebiasaan-kebiasaan kecil dalam percakapan, dan lain-lain. Umumnya pada tahapan, orang mulai menekankan kesamaan antarmanusia, seperti struktur fisik dan kebutuhan psikologis. Mereka berasumsi bahwa inilah nilai-nilai universal yang dibutuhkan semua orang. Mereka yang berada di posisi ini tidak lagi etnosentris. Mereka lebih cenderung melebih-lebihkan toleransi antarbudaya. Mereka juga mulai mengabaikan efek budaya seperti "hak-hak istimewa" dari budaya mereka sendiri. Mereka mengadopsi sudut pandang lain dengan mendekati situasi antarbudaya dengan jaminan kesadaran yang paling sederhana. Katanya, hanya dengan mengimplementasikan pola dasar interaksi manusia, kebersamaan akan cukup untuk menjamin keberhasilan komunikasi.

4.    Acceptance of difference. Pada tahapan ini, orang mulai menerima perbedaan. Mereka yang berada pada posisi ini mulai menerima keberadaan budaya yang berbeda. Budaya lain sebagai bagian yang juga mengatur eksistensi manusia, meskipun mereka tidak selalu suka atau setuju dengan segala hal dari budaya lain. Mereka dapat mengidentifikasi bagaimana budaya memengaruhi berbagai pengalaman manusia. Mereka juga memiliki kerangka kerja untuk mengatur bagaimana harus melakukan pengamatan dalam perbedaan budaya. Kita harus mengakui bahwa orang-orang yang berada pada tahapan ini bersemangat untuk berkomunikasi dengan orang lain. Hal ini mencerminkan bahwa mereka sudah mempunyai keinginan untuk mengurangi prasangka. Kata kunci tahapan adalah "mengenal "atau "belajar."

5.   Adaptation to difference. Tahapan ini merupakan tahap adaptasi terhadap perbedaan. Pada posisi ini orang dapat memperluas pandangan dunia mereka sendiri dan secara akurat memahami budaya dan perilaku orang-orang dari budaya lain. Mereka secara efektif bersikap empati. Ini sebagai tanda bahwa mereka mulai menggeser sikap menerima perbedaan untuk memahami dan dipahami oleh budaya sendiri dan budaya orang lain. Jadi, sudah ada proses pelintasan batas-batas budaya. Proses lintas budaya ini merupakan salah satu kemampuan untuk bertindak secara benar, tepat, dan jelas di luar budaya sendiri. Pada tahap ini seseorang akan mampu memulai percakapan dengan tema-tema budaya orang lain, yang sebelumnya merupakan aspek yang berbeda.

Gambar 1.3 Developmental Model of Intercultural Sensitivity

6.  Integration of difference. Pada tahapan ini orang mulai mengintegrasikan perbedaan. Mulai terjadi bahwa pengalaman diri diperluas sehingga mencakup mengintegrasikan pandangan dari budaya sendiri dengan budaya orang lain. Individu. Pada posisi ini, tidak lagi merasa diri sebagai orang "marginal". Mereka merasa sudah memasuki atau sudah berada di dalam budaya orang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MODEL MODEL KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA MENURUT HAMMER, THOMAS & KILMAN, TING TOOMEY

  Komunikasi Antar Budaya Menurut Hammer Perintis yang penting kepada kompetensi budaya ialah sensitiviti antara Budaya   Menurut Hammer, se...