Senin, 27 Juni 2022

POSTMODERNISME

Postmodernisme adalah sebuah pandangan, kerangka pemikiran, atau aliran filsafat yang berkaitan dengan sikap dan cara berpikir yang muncul di abad dua puluh dari para pemikir dunia yang tentu saja keberadaannya sangat mempengaruhi perkembangan dan kebudayaan manusia. Penerapan postmodernismepun telah dilakukan dalam berbagai bidang, seperti:  seni, arsitektur, musik, film, dan teater. Kehadiran aliran ini memiliki tujuan untuk menjawab dan mengkritisi pandangan-pandangan yang telah ada sebelumnya dalam hal mencari solusiatas beragam permasalahan yang dihadapi manusia hari ini serta krisis sosial dan kultural yang tak kunjung usai. Sebagian para ahli sepakat bahwa postmodernisme bisa mengatasi krisis-krisis sosial yang terjadi, sehingga pemikiran ini pun telah mempengaruhi hampir sebagian besar sisi kehidupan manusia, namun sebagian yang lain tidak jarang yang meragukan kemampuan pendekatan postmodernisme ini, sebagaimana yang ditulis Jenks dalam bukunya Studi Kebudayaan, yaitu: Postmodernisme tidak menawarkan cara-cara alternatif untuk mengetahui (memperoleh pengetahuan) darimana kita bisa menghadapi dan menghargai sesuatu yang ‟baru‟ secara layak, tetapi menyindir  wacana  dengan  terus-menerus  membabat  epistimologi-epistimologi yang ada dan menghadirkan penurunan dan pelemahan pengaruh penjelasan-penjelasan yang didasarkan    atas    kualitas wacana yang sama sekali tidak istimewa (Jenks, 2013: 202).

A.    LAHIRNYA POSTMODERNISME

Munculnya postmodernisme tidak dapat dilepaskan dari modernisme itu sendiri. Kata modernisme mengandung makna serba maju, gemerlap, dan progresif. Modernisme selalu menjanjikan pada kita untuk membawa pada perubahan ke dunia yang lebih mapan di mana semua kebutuhan akan dapat terpenuhi. Rasionalitas akan membantu kita menghadapi mitos-mitos dan keyakinan-keyakinan tradisional yang tak berdasar, yang membuat manusia tak berdaya dalam menghadapi dunia ini (Maksum, 2014: 309). Namun demikian, modernisme memiliki sisi gelap yang menyebabkan kehidupan manusia kehilangan diorientasi. Apa yang dikatakan oleh Max Horkheimer, Ardono, dan Herbert Marcuse bahwa pencerahan tersebut melahirkan sebuah penindasan dan dominasi disamping juga melahirkan kemajuan. Modernisme, menurut Anthony Giddens, menimbulkan berkembangbiaknya petaka bagi umat manusia. Pertama, penggunaan kekerasan dalam menyelesaikan sengketa. Kedua, penindasan oleh yang kuat atas yang lemah. Ketiga, ketimpangan sosial yang kian parah. Keempat, kerusakan hidup yang kian menghawatirkan (Maksum, 2014: 311). Tumbangnya modernisme dan munculnya postmodernisme dapat kita ketahui dari pemikiran filsafatnya Soren Kierkegaard (1813-1855), sebagaimana dikutip oleh Ali Maksum, yang menentang rekonstruksirekonstruksi rasional dan masuk akal yang menentukan keabsahan kebenaran ilmu. Sesuatu itu dikatakan benar ketika sesuai dengan konsensus atau aturan yang berlaku di dunia modern, yaitu rasional dan objektif. Namun tidak dengan Kierkegaard, dia berpendapat bahwa kebenaran itu bersifat subjektif (Ghazali & Effendi, 2009: 314). Truth is subjectivity, artinya bahwa pendapat tentang kebenaran subjektif itu menekankan pentingnya pengalaman yang dialami oleh seorang individu yang dianggapnya relatif. Gejala Postmodernisme yang merambah ke berbagai bidang kehidupan tersebut yang didalamnya termasuk ilmu pengetahuan merupakan suatu reaksi terhadap gerakan modernisme yang dinilainya mengalami kegagalan. Modernisme yang berkembang dengan ditandai oleh adanya rasionalisme, materialisme, dan kapitalisme yang didukung dengan perkembangan teknologi serta sains menimbulkan disorientasi moral keagamaan dengan runtuhnya martabat manusia (Kalean, 2002: 298). Atas latar belakang itulah, para tokoh dan pemikir postmodernisme menghadirkan sebuah gagasan baru yang disebut dengan postmodernisme dalam rangka melakukan dekonstruksi paradigma terhadap berbagai bidang keilmuan, sebagai sebuah upaya untuk mengoreksi atau membuat dan bahkan menemukan paradigma yang baru. Postmodernisme seperti yang dikatakan oleh Derrida dan Lyotard, merupakan anti tesis dari modernisme.

B.      TOKOH-TOKOH POSTMODERNISME

Ada beberapa tokoh yang bisa disebut mewakili era Postmodernisme.

Pertama, Jean-Francois Lyotard, merupakan salah satu filsuf postmodernisme yang paling terkenal sekaligus paling penting di antara filsuf-filsuf postmodernisme yang lainnya. Dua karya yang menjadikannya terkenal baik di Perancis maupun diluar negeri yaitu The Postmodernisme Condition dan The Differend. Karyanya itu juga baik sesuatu ataupun seseorang yang ditolak bersuara terhadap sistem ideologis yang dominan yang menentukan sesuatu yang dapat diterima dan tidak dapat diterima (Zaprulkhan, 2006: 320). Pemikiran Lyotard tentang ilmu pengetahuan dari pandangan modernisme yang sebagai narasi besar seperti kebebasan, kemajuan, dan sebagainya kini menurutnya mengalami permasalahan yang sama seperti abad pertengahan yang memunculkan istilah religi, nasional kebangsaan, dan kepercayaan terhadap keunggulan negara eropa untuk saat ini tidak dapat dipercaya atau kurang tepat kebenarannya. Maka, postmodernisme menganggap sesuatu ilmu tidak harus langsung diterima kebenarannya harus diselidiki dan dibuktikan terlebih dahulu. Bagi Lyotard, ilmu pengetahuan postmodernisme bukanlah semata-mata menjadi alat penguasa, ilmu pengetahuan postmodern memperluas kepekaan kita terhadap pandangan yang berbeda dan memperkuat kemampuan kita untuk bertoleransi atas pendirian yang tak mau dibandingkan (Maksum, 2014: 319-321).

Kedua, Michel Foucault, adalah seorang tokoh postmodernisme yang menolak keuniversalan pengetahuan. Ada beberapa asumsi pemikiran pencerahan yang ditolak oleh Foucault yaitu: 1) Pengetahuan itu tidak ersifat metafisis, transendental, atau universal, tetapi khas untuk setiap waktu dan tempat 2) Tidak ada pengetahuan yang mampu menangkap katakter objektif dunia, tetapi pengetahuan itu selalu mengambil perspektif. 3) Pengetahuan tidak dilihat sebagai pemahaman yang netral dan murni, tetapi selalu terikat dengan rezim-rezim penguasa (Maksum, 2014: 322).

Ketiga, Jacques Derrida. Membahas filsuf yang satu ini tidak akan lepas dari buah pikirannya tentang dekonstruksi. Istilah ini merupakan salah satu konsep kunci postmodernisme. Apa itu dekonstruksi? secara etimologis, dekonstruksi adalah berarti mengurai, melepaskan, dan membuka (Maksum, 2014: 331). Derrida menciptakan sebuah pemikiran dekonstruksi, yang merupakan salah satu kunci pemikiran postmodernisme, yang mencoba memberikan sumbangan mengenai teori-teori pengetahuan yang dinilai sangat kaku dan kebenarannya tidak bisa dibantah, yang dalam hal ini pemikiran modernisme. Derrida mencoba untuk meneliti kebenaran terhadap suatu teori pengetahuan yang baginya bisa dibantah kebenarannya yang dalam arti bisa membuat teori baru asalkan hal tersebut dapat terbukti kebenarannya dan dipertanggungjawabkan.

C.      CIRI-CIRI PEMIKIRAN POSTMODERNISME

Amin Abdullah dalam bukunya berjudul Falsafah Kalam di Era Postmodernisme menyatakan bahwa ciri-ciri pemikiran postmodernisme adalah dekonstruktif. Hampir semua bangunan atau konstruksi dasar keilmuan yang telah mapan dalam era modern, baik dalam bidang sosiologi, psikologi, antropologi, sejarah, bahkan juga ilmu-ilmu kealaman yang selama ini baku ternyata dipertanyakan ulang oleh postmodernisme. Hal ini terjadi karena teori tersebut dianggap menutup munculnya teori-teori lain yang barangkali jauh lebih dapat membantu memahami realitas dan pemecahan masalah. Jadi klaim adanya teori-teori yang baku, standar, yang tidak dapat diganggu gugat, itulah yang ditentang oleh pemikir postmodernisme. Standar yang dilihatnya kaku dan terlalu skematis sehingga tidak cocok untuk melihat realitas yang jauh lebih rumit. Maka menurutnya harus diubah, diperbaiki, dan disempurnakan oleh para pemikir postmodernisme. Dalam istilah Amin Abdullah dikenal dengan deconstructionism yakni upaya mempertanyakan ulang teori-teori yang sudah mapan yang telah dibangun oleh pola pikir modernisme, untuk kemudian dicari dan disusun teori yang lebih tepat dalam memahami kenyataan masyarakat saat ini, meliputi keberagaman, dan juga realitas alam (Abdullah, 2004: 96). Ciri postmodernisme yang lain adalah berwatak relativisme, artinya pemikiran postmodernisme dalam hal realitas budaya (nilainilai, kepercayaan, dan lainnya) tergambar dalam teori-teori yang dikembangkan oleh disiplin ilmu antropologi. Dalam pandangan antropologi, tidak ada budaya yang sama dan sebangun antara satu dengan yang lain. Seperti budaya Amerika jelas berbeda dengan Indonesia. Maka nilai-nilai budaya jelas sangat beraneka ragam sesuai dengan latar belakang sejarah, geografis, dan sebagainya. Dapat disimpulkan bahwa ilmu pengetahuan bagi postmodernisme bersifat relatif, tidak ada ilmu pengetahuan yang kebenarannya absolut. Dan melihat suatu peristiwa tertentu juga ketika ingin menilainya harus dilihat dari segala sisi, tidak hanya terfokus pada satu sisi tertentu.

D.      KELEBIHAN DAN KELEMAHAN POSTMODERNISME

Kelebihan postmodernisme antara lain bahwa perspektif postmodernisme dapat membuat kita peka terhadap kemungkinan bahwa wacana besar positif, prinsip-prinsip etika positif, dapat diputar dan dipakai untuk menindas manusia. Martabat manusia harus dijunjung tinggi, seperti kebebasan adalah nilai tinggi, tetapi bisa saja terjadi bahwa nama kebebasan sekelompok orang mau ditiadakan. Postmodernisme ikut membuat kita sadar, sebuah kesadaran bahwa semua cerita besar perlu dicurigai, perlu diwaspadai agar tidak menjelma rezim totalitarianisme yang hanya mau mendengarkan suara diri sendiri dan mengharuskan suara-suara yang berbeda dari luar (Zaprulkhan, 2006: 323-324). Menurut Franz Dahler, postmodernisme memiliki segi positif, yaitu keterbukaan untuk kebhinekaan masyarakat, untuk toleransi, perlawanan terhadap monopoli, dominan agama, aliran dan ideologi tertentu, hingga menguntungkan demokrasi (Jalaluddin, 2013: 67). Zaprulkhan menyatakan bahwa setidaknya ada kelemahan yang ada pada postmodernisme, yang penulis rangkum menjadi tiga poin utama, yaitu, pertama, postmodernisme yang sangat semangat mempromosikan narasi-narasi kecil, ternyata buta terhadap kenyataan bahwa banyak juga narasi kecil yang mengandung banyak kebusukan. Katakanlah kaum komunitarian yang membela tradisi-tradisi komunitas dikemukakan bahwa banyak tradisi komunitas bertentangan tidak hanya dengan suatu ide abstrak martabat manusia postmodernisme akan menolak argumen itu, melainkan terhadap institusi-institusi moral mendalam manusia. Kedua, postmodernisme tidak membedakan antara ideologi, di satu pihak dan prinsip-prinsip universal etika terbuka, di pihak lain. Dengan istilah-istilah kabur seperti cerita besar mereka menutup perbedaan yang prinsipil itu. Yang mempermudah adalah pendekatan ideologis dan bukan nilainilai dan prinsip-prinsip dasar moralitas yang terbuka. Dalam arti ideologi tertutup, memang bertentangan dengan martabat manusia sebagai makluk yang bertindak berdasarkan kesadaran akan baik dan buruk, yang sanggup untuk bertanggung jawab, karena ideologi selalu menuntut ketaatan mutlak. Dan yang ketiga Postmodernisme menuntut untuk menyingkirkan cerita-cerita besar demi cerita kecil atau lokal. Dengan kata lain tuntutan postmodernisme kontradiktif, memaklumkan kepada umat manusia bahwa maklumat-maklumat kepada umat manusia (cerita besar) harus ditolak sama artinya dengan memaklumatkan bahwa maklumat itu sendiri tidak perlu dihiraukan (Zaprulkhan, 2006: 322-323).

E.       KRITIK TERHADAP POSTMODERNISME

Habermas dalam bukunya, The Philosophical of Modernity, mengkritik postmodernisme menyatakan bahwa asal-usul konsep postmodernity itu sendiri harus diteliti. Habermas menyatakan ada kelemahan mendasar pemikiran kaum postmodernis tentang modernitas yang dianggap ahistoris. Para pemikir postmodernisme seakan-akan menghilangkan dimensi dan cakrawala historis yang memunculkan postmodern itu. Ali Maksum menyatakan bahwa kritik atas postmodernisme antara lain: a) Pemikir postmodernisme kurang tegas apakah mereka menciptakan teori atau mengarang sastra; b) Habermas merasa argumen para postmodernis sarat dengan sentimen normatif, namun sentimen mereka itu disembunyikan dari pembaca, Habermas mengemukakan sentimen normatifnya (kebebasan, keterbukaan, komunikasi) yang dijadikan sumber kritiknya terhadap masyarakat serta menjadi basis bagi praktis politiknya; c) Habermas mengkritik postmodernisme sebagai perspektif yang gagal membedakan fenomena dan praktik yang terjadi pada masyarakat modern. contohnya tentang pandangan dunia yang didominasi oleh kekuasaan dan pengawasan tidak memberikan peluang yang cukup baik untuk melakukan analisis yang bermakna atas sumber nyata penindasan dalam kehidupan modern; d) Pemikir postmodernisme dituduh mengabaikan praktik kehidupan dunia. Kekeliruan ini merupakan kerugian ganda bagi pemikir postmodernisme. Di satu sisi, mereka sumber penting perkembangan standar normatif. Sedangkan disisi lain, mereka menjadikan kehidupan dunia sebagai tujuan akhir karya ilmu sosial (Maksum, 2014: 340, 345-346).


Senin, 20 Juni 2022

KRITISISME

A.  Definisi Kritisisme

Asal mula munculnya aliran kritisisme berawal dari pendirian rasionalisme dan empirisme yang bertolak belakang. Rasionalisme berpendirian bahwa rasio merupakan sumber pengenalan atau pengetahuan, sedangkan empirisme berpendirian sebaliknya bahwa pengalaman menjadi sumber tersebut. Immanuel Kant (1724-1804) berusaha mengadakan penyelesaian atas pertikaian itu dengan filsafatnya yang dinamakan kritisisme (aliran yang kritis).

Kritisisme menurut bahasa berasal dari dua kata, yaitu kritis berarti beralasan dan reflektif. Sedangkan isme adalah suatu aliran pemikiran. Sedangkan menurut istilah Kritisisme adalah aliran pemikiran yang beralasan  dan reflektif berdasarkan batas-batas kemampuan rasio sebagai sumber pengetahuan.

B.  Tokoh Kritisisme

Tokoh kritisisme adalah Emmanuel Kant (1724-1804 M), ia lahir di Konisbergen, Prusia Timur, Jerman. Sejak kecil ia tidak meninggalkan desanya, kecuali hanya selama beberapa waktu singkat untuk mengajar di desa tetangganya. Pikiran-pikiran dan tulisan-tulisannya yang sangat manusia. penting dan membawa revolusi yang jauh jangkauannya dalam filsafat modern. Dalam dunia filsafat, karya immanuel kant banyak sekali antara lain adalah kritik der reinen vernunft reason atau critique of pure reason (kritik atas rasio praktis), kritik der practischen vernunft atau critique of practical reason (kritik atas rasio praktis), dan kritik der urteilskarft atau critique of judgment (kritik atas daya pertimbangan) .

C.  Pemikiran Kritisisme

Kant memandang rasionalisme dan empirisme senantiasa berat sebelah dalam menilai akal dan pengalaman sebagai sumber pengetahuan. Ia mengatakan bahwa pengenalan manusia merupakan sintesis antara unsur-unsur apriori dan unsur-unsur aposteriori.

Kebenaran merupakan sensasi-sensasi yang masuk melalui alat indra kemudian masuk ke dalam otak, lalu objek itu diperhatikan, kemudian disadari. Sensasi-sensasi itu masuk ke otak melalui saluran-saluran tertentu, yaitu hukum-hukum. Karena hukum-hukum itulah, tidak semua stimulus yang menerpa alat indra dapat masuk ke otak. Penangkapan itu telah diatur oleh persepsi sesuai dengan tujuan. Tujuan inilah hukum-hukum itu.  Kebenaran apriori diperoleh melalui struktur jiwa yang kemudian masuk dalam idea. Oleh karena itu, pengenalan berpusat pada subjek, bukan pada objek. Gagasan utama kritisisme adalah tentang teori pengetahuan, etika, dan estetika. Gagasan ini muncul karena adanya pertanyaan-pertanyaan mendasar, seperti: 1) apa yang dapat saya ketahui? 2) apa yang harus saya lakukan? 3) apa yang boleh saya harapkan?.

D.  Karakteristik Kritisisme

Karakteristik kritisisme dapat disimpulkan dalam tiga hal:

1.   Menganggap bahwa objek pengenalan itu berpusat pada subjek dan bukan pada objek;

2.   Penegasan tentang keterbatasan kemampuan rasio manusia untuk mengetahui realitas atau hakikat sesuatu; rasio hanya mampu menjangkau gejalanya;

3.   Menjelaskan bahwa pengenalan manusia atas sesuatu itu diperoleh atas perpaduan antara peranan unsur apriori yang berasal dari rasio serta berupa ruang dan waktu dan peranan unsur aposteriori yang berasal dari pengalaman yang berupa materi.

E.  Kritik-Kritik Kritisisme

a.          Kritik atas Rasio Murni

Menurut kant, baik rasionalisme maupun empirisme, kedua-duanya berat sebelah. Ia berusaha menjelaskan bahwa pengenalan manusia merupakan paduan antara sintesis dari unsur-unsur apriori dengan unsur-unsur aposteriori. 

Kant sangat mengagumi empirisme hume yang bersifat radikal dan konsekuen, tetapi ia tidak dapat menyetujui skeptisisme yang dianut hume dengan kesimpulannya bahwa dalam ilmu pengetahuan, kita tidak dapat mencapai kepastian.

Menurut kant ada tiga tahap pengenalan, yaitu:

a)                   Pada taraf indra

Menurut kant, unsur apriori itu sudah terdapat pada taraf indra. Dalam pengetahuan indrawi ada dua bentuk apriori, yaitu ruang dan waktu, dan keduanya berakar dalam struktur subjek sendiri. Terkadang ada realita yang terlepas dari subjek, yang hanya bisa dikenal dengan gejala-gejalanya saja.

b)                  Pada taraf akal budi

Pengenalan akal budi juga merupakan antara bentuk dengan materi. Materi adalah data-data indrawi dan bentuk adalah apriori, yang terdapat pada akal budi. Bentuk apriori ini dinamakan kant dengan istilah “kategori”.

c)                   Pada taraf rasio

Rasio membentuk argumentasi dengan dipimpin oleh tiga ide, yaitu: jiwa, dunia, dan allah. Ide menurut kant adalah cita-cita yang menjamin kesatuan terakhir dalam bidang gejala psikis (jiwa), kejadian jasmani (dunia), dan segala-galanya yang ada (allah). Ketigsa ide ini mengatur agumentasi dalam pengalaman.

b.    Kritik atas Rasio Praktis

Rasio praktis adalah rasio yang mengatakan apa yang harus kita lakukan; atau dengan kata lain, rasio yang memberikan perintah kepada kehendak kita. Kant memperlihatkan bahwa rasio praktis memberikan perintah yang mutlak (imperatif kategori). Terdapat tiga postulat dari rasio praktis, yaitu: kebebasan kehendak, inmoralitas jiwa, dan adanya allah.

Yang tidak dapat ditemui atas dasar rasio teoretis harus diandaikan atas dasar rasio praktis. Akan tetapi tentang ketiga postulat tersebut, kita semua tidak mempunyai pengetahuan teoritas. Menerima ketiga postulat dinamakan oleh kant sebagai kepercayaan.

c.     Kritik atas Daya Pertimbangan

Sebagai konsekuensi dari “kritik atas rasio umum” dan “kritik atas rasio praktis” ialah munculnya dua lapangan tersendiri, yaitu lapangan keperluan mutlak di bidang alam dan lapangan kebebasan di bidang tingkah laku manusia. Maksudnya kritik ini adalah mengerti kedua persesuaian kedua lapangan ini dengan menggunakan konsep finalitas (tujuan). 

Finalitas bisa bersifat subjektif dan objektif.  Finalitas yang bersifat subjektif yaitu manusia mengarahkan objek pada diri manusia sendiri. Sedangkan finalitas yang bersifat objektif yaitu keselarasan satu sama lain dari benda-benda alam. 

Kritisisme kant  sebenarnya telah memadukan dua pendekatan dalam pencarian keberadaan sesuatu yang juga tentang kebenaran substansial dari sesuatu itu. Rasio tidak mutlak dapat menemukan kebenaran, karena rasio tidak membuktikan, demikian pula pengalaman, tidak dapat dijadikan melulu tolok ukur, karena tidak semua pengalaman benar-benar nyata dan rasional.

KESIMPULAN

Kritisisme muncul berawal dari pendirian rasionalisme dengan empirirsme yang saling bertolak belakang. Kritisisme adalah aliran pemikiran yang beralasan  dan reflektif berdasarkan batas-batas kemampuan rasio sebagai sumber pengetahuan manusia.

Tokoh kritisime adalah Emmanuel Kant (1724-1804 M). Pemikiran kant mempertegas bahwa rasio tidak mutlak dalam menemukan kebenaran, begitu pula pengalaman. Suatu kebenaran didapatkan oleh manusia dari sintesis antara unsur-unsur apriori dan unsur-unsur aposteriori.

Karakteristik kritisisme ada tiga yaitu: 1) Menganggap bahwa objek pengenalan itu berpusat pada subjek; 2) Kemampuan rasio manusia terbatas hanya mampu menjangkau gejalanya dalam mengetahui realitas; 3) Rasio Menjelaskan bahwa pengenalan manusia atas sesuatu itu diperoleh atas perpaduan antara peranan unsur apriori (ruang dan waktu) dan aposteriori (materi). Kritik-kritik kritisisme yaitu kritik atas rasio murni, kritik atas rasio praktis, dan kritik atas daya pertimbangan.


Senin, 13 Juni 2022

KONSTRUKTIVISME


PARADIGMA KONSTRUKTIVISME

Paradigma dalam sebuah pengertian tentunya, setiap orang atau kelompok masyarakat memiliki asumsi yang sangat berbeda. Perbedaan tersebut mengambarkan bahwa sebagian orang melihat sebuah pengertian berdasarkan pengalaman dimana mereka berada dalam sebuah situasi dan kondisi. Meninjau pengertian paradigma bahwa paradigma sebagai citra fundamental tentunya berorientasi kepada pokok permasalahan dalam sebuah ilmu pengetahuan. Mengenai paradigma harus dikaji dan ditelaah untuk menentukan sejauhmana pengaruhnya paradigma dalam menentukan kaidah-kaidah ilmu pengetahuan. Bertolak dari pemahaman tersebut, paradigma menafsirkan jawaban laksana sebagai jendela untuk mengamati dunia luar. Menafsirkan paradigma, bisa dikatakan sebagai perspektif seseorang atau kelompok masyarakat dalam mengamati kasus yang terjadi. Namun secara umum bahwa paradigma dikatakan sebagai sudut pandang seseorang terhadap fenomena atau realitas yang terjadi dalam kehidupan masyarakat.

Dalam Ilmu Komunikasi terdapat 5 paradigma penelitian komunikasi, antara lainn: (a) Paradigma Positivis, (b) Paradigma Postpositivis, (c) Paradigma Konstruktivis, (d) Paradigma Kritis, dan (e) Paradigma Partisipatoris. Pada Sub bab ini akan dibahas lebih lanjut mengenai Paradigma Konstruktivisme. Paradigma Konstruktivisme pertama kali diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. Bagi Berger dan Luckmann, paradigma ini penting sebagai salah satu perspektif atau sudut pandang dalam melihat gejala sosial atau realitas sosial. Konsep Konstruktivisme sejalan dengan konsep konstruksi realitas sosial, konstruksionisme, construktivis sosial, construksionist sosial. Dalam hal ini bisa disebut sebagai konsep konstruksi sosial (social construction). Berger dan Luckmann menjelaskan bahwa konstruksi sosial/realitas terjadi secara stimulan melalui tiga tahapan, yaitu tahap eksternalisasi, objektivasi, dan terakhir tahap internalisasi. Paradigma konstruktivisme oleh Peter L. Berger dan Luckmann kemudian dikenal dengan teori konstruksi realitas sosial atau teori dialektika (Karman, 2015). Mereka menjelaskan bahwa proses sosial didapatkan melalui aksi dan interaksi yang diciptakan oleh individu secara terus menerus sehingga menghasilkan suatu realitas yang dimiliki dan dialami secara perorangan. Pendapat lain oleh Goffman lebih menganggap konsep kostruksi sosial atas realitas itu sederhana.

Constructivism paradigm merupakan paradigma dalam komunikasi yang menganggap bahwa realitas sosial bersifat relative, yaitu realitas sosial merupakan hasil dari konstruksi sosial. Pada kenyataanya realitas sosial tidak bisa berdiri sendiri tanpa peran dari individu, baik di luar maupun di dalam realitas itu sendiri. Subjek mengkonstruksi realitas sosial kemudian mengkonstruksinya dalam dunia realitasnya. Setelah itu menyempurnakan realitas tersebut berdasarkan subjektifitas individu lain dalam lingkup sosialnya. Pengetahuan juga merupakan konstruksi dari seseorang yang memahami suatu hal yang tidak dipahami oleh individu yang pasif. Sehingga pemahaman tersebut tidak dapat ditransfer. Konstruksi harus dilakukan sendiri oleh individu tersebut berdasar pengetahuannya, sedangkan lingkungan adalah sarana terjadinya konstruksi itu.

Pendekatan konstruktivisme atau konstruksionis mempunyai penilaian sendiri bagaimana media dilihat. Media merupakan agen konstruksi realitas. Media bukan sekedar saluran penyampai informasi melainkan juga sebagai subjek yang mengkonstruksi realitas. Disini media tidak sekedar menampilkan dan menunjukkan realitas serta pendapat narasumber, namun juga melakukan bingkai oleh media itu sendiri. Dengan kata lain, media sangat berperan dalam mengkonstruksi realitas (Eriyanto, 2002). Dalam metodologi, paradigma ini menggunakan berbagai macam jenis pengonstruksian dan menggabungkannya dalam sebuah konsensus. Proses ini melibatkan dua aspek: hermeunetik dan dialetik. Hermeunetik merupakan aktivitas dalam mengkaitkan teks-percakapan, tulisan, atau gambar. Sedangkan dialetik adalah penggunaan dialog sebagai pendekatan agar subjek yang diteliti dapat ditelaah pemikirannya dan membandingkannya dengan cara berpikir peneliti. Dengan begitu, harmonitas komunikasi dan interaksi dapat dicapai dengan maksimal (Neuman, 2003:75). Paradigma Konstruktivisme dalam ilmu sosial merupakan kritik terhadap paradigma positivis. Menurut paradigma konstruktivisme, realitas sosial yang diamati oleh seseorang tidak dapat digeneralisasikan pada semua orang yang biasa dilakukan oleh kaum positivis.

Teori konstruktivisme menyatakan bahwa individu menginterpretasikan dan beraksi menurut kategori konseptual dari pikiran. Realitas tidak menggambarkan diri individu namun harus disaring melalui cara pandang orang terhadap realitas tersebut. Teori konstruktivisme dibangun berdasarkan teori yang ada sebelumnya, yaitu konstruksi pribadi atau konstruksi personal (personal construct) oleh George Kelly. Ia menyatakan bahwa orang memahami pengalamannya dengan cara mengelompokkan berbagai peristiwa menurut kesamaannya dan membedakan berbagai hal melaluiperbedaannya. Lebih jauh, paradigma konstruktivisme ialah paradigma dimana kebenaran suatu realitas sosial dilihat sebagai hasil konstruksi sosial, dan kebenaran suatu realitas sosial bersifat relatif. Paradigma konstruktivisme ini berada dalam perspektif interpretivisme (penafsiran) yang terbagi dalam tiga jenis, yaitu interaksi simbolik, fenomenologis dan hermeneutik. Paradigma konstruktivisme dalam ilmu sosial merupakan kritik terhadap paradigma positivis. Menurut paradigm konstruktivisme realitas sosial yang diamati oleh seseorang tidak dapat digeneralisasikan pada semua orang, seperti yang biasa dilakukan oleh kaum positivis. Konsep mengenai konstruksionis diperkenalkan oleh sosiolog interpretative, Peter L. Berger bersama Thomas Luckman. Dalam konsep kajian komunikasi, teori konstruksi sosial bisa disebut berada diantara teori fakta social dan defenisi social.

Senin, 06 Juni 2022

POSITIVISME & POST-POSITIVISME

POSITIVISME

Positivisme merupakan paradigma ilmu pengetahuan yang paling awal muncul dalam duniailmu pengetahuan. Keyakinan dasar aliran ini berakar dari paham ontologi realisme yang menyatakanbahwa realitas ada (exist) dalam kenyataan yang berjalan sesuai dengan hukum alam (natural laws). Dengan kata lain, Positivisme merupakan suatu aliran filsafat yang menolak aktifitas yang berkenaan dengan   metafisik.   Tidak   mengenal   adanya   spekulasi, semua   didasarkan   pada   data   empiris. Sesungguhnya aliran ini menolak adanya spekulasi teoritis sebagai suatu sarana untuk memperolehpengetahuan (seperti yang diusung oleh kaum idealisme khususnya idealisme Jerman Klasik). Positivisme merupakan empirisme, yang dalam segi-segi tertentu sampai kepada kesimpulan logisekstrim karena pengetahuan apa saja merupakan pengetahuan empiris dalam satu atau lain bentuk,maka tidak ada spekulasi dapat menjadi pengetahuan. Positivisme merupakan istilah yang digunakan pertama kali oleh Saint Simon (sekitar tahun 1825). Positivisme berakar pada empirisme karena kedekatan keduanya yang menekankan logika simbolik sebagai dasar. Prinsip filosofik tentang Positivisme dikembangkan pertama kali oleh empiris Inggris Francis Bacon. Dalam psikologi pendekatan positif erat dikaitkan dengan behaviorisme, dengan fokus pada observasi objektif sebagai dasar pembentukan hukum. Terdapat tiga tahap dalam perkembangan positivisme, yaitu:

1. Tempat utama dalam positivisme pertama diberikan pada Sosiologi, walaupun perhatiannya juga diberikan pada teori pengetahuan yang diungkapkan oleh Comte dan tentang Logika yang dikemukakan oleh Mill. Tokoh-tokohnya Auguste Comte, E. Littre, P. Laffitte, JS. Mill dan Spencer.

2. Munculnya tahap kedua dalam positivisme – empirio-positivisme – berawal pada tahun 1870-1890an dan berpautan dengan Mach dan Avenarius. Keduanya meninggalkan pengetahuan formal tentang obyek-obyek nyata obyektif, yang merupakan suatu ciri positivisme awal. Dalam Machisme, masalah-masalah pengenalan ditafsirkan dari sudut pandang psikologisme ekstrim, yang bergabung dengan subyektivisme.

 3. Perkembangan positivisme tahap terakhir berkaitan dengan lingkaran Wina dengan tokoh-tokohnya O. Neurath, Carnap, Schlick, Frank, dan lain-lain. Serta kelompok yang turut berpengaruh pada perkembangan tahap ketiga ini adalah Masyarakat Filsafat Ilmiah Berlin. Kedua kelompok ini menggabungkan sejumlah aliran seperti atomisme logis, positivisme logis, serta semantika. Pokok bahasan positivisme tahap ketiga ini diantaranya tentang bahasa, logika simbolis, struktur penyelidikan ilmiah dan lainlain.

Pendiri dan sekaligus tokoh terpenting dari aliran filsafat positivism adalah Auguste Comte (1798-1857). Filsafat Comte adalah anti-metafisis, ia hanya menerima fakta-fakta yang ditemukan secara positif-ilmiah, dan menjauhkan diri dari semua pertanyaan yang mengatasi bidang ilmu-ilmu positif. Semboyan Comte yang terkenal adalah savior pour prvoir (mengetahui supaya siap untuk bertindak), artinya manusia harus menyelidiki gejala-gejala dan hubungan-hubungan antara gejalagejala ini supaya ia dapat meramalkan apa yang akan terjadi. Istilah positivisme dipopulerkan oleh August Comte dalam sebuah karyanya “Cours de Philosophic Positive" sebanyak enam jilid. Dari Comte inilah orang banyak mengenal tentang positivisme secara luas. Positivisme berakar pada empirisme." Prinsip filosofis tentang positivisme dikembangkan pertama kali oleh empirist Inggris Francis Bacon (sekitar 1600). Di samping itu juga bersama-sama John Locke dan David Hume, kelompok positivis Prancis (Auguste Comte), kelompok logikal positivis dan kelompok Wina serta aliran-aliran fisika analisis dari Inggris sangat concern terhadap tradisi empiris. Tesis positivisme adalah bahwa ilmu adalah satu-satunya pengetahuan yang valid, dan fakta-fakta sajalah yang mungkin dapat menjadi obyek pengetahuan. Dengan demikian positivisme menolak keberadaan segala kekuatan atau subyek di belakang fakta, menolak segala penggunaan metode di luar yang digunakan untuk menelaah fakta. Bagi Comte untuk menciptakan masyarakat yang adil, diperlukan metode positif yang kepastiannya tidak dapat digugat. Metode positif ini mempunyai 4 ciri, yaitu:

1. Metode ini diarahkan pada fakta-fakta

2. Metode ini diarahkan pada perbaikan terus meneurs dari syarat-syarat hidup

3. Metode ini berusaha ke arah kepastian

4. Metode ini berusaha ke arah kecermatan.

POST POSITIVISME

Postpositivisme adalah aliran yang ingin memperbaiki kelemahan pada Positivisme. Satu sisi Postpositivisme sependapat dengan Positivisme bahwa realitas itu memang nyata ada sesuai hukum alam. Tetapi pada sisi lain Postpositivisme berpendapat manusia tidak mungkin mendapatkan kebenaran dari realitas apabila peneliti membuat jarak dengan realitas atau tidak terlibat secara langsung dengan realitas. Salah satu indikator yang membedakan antara keduanya bahwa postpositivisme lebih mempercayai proses verifikasi terhadap suatu temuan hasil observasi melalui berbagai macam metode. Dengan demikian suatu ilmu memang betul mencapai objektifitas apabila telah diverifikasi oleh berbagai kalangan dengan berbagai cara. Kedua, Bukankah postpositivisme bergantung pada paradigma realisme yang sudah sangat tua dan usang? Dugaan ini tidak seluruhnya benar.

Pandangan awal aliran positivisme (old-positivism) adalah anti realis, yang menolak adanya realitas dari suatu teori. Realisme modern bukanlah kelanjutan atau luncuran dari aliran positivisme, tetapi merupakan perkembangan akhir dari pandangan postpositivisme. Ketiga, banyak postpositivisme yang berpengaruh yang merupakan penganut realisme. Bukankah ini menunjukkan bahwa mereka tidak mengakui adanya sebuah kenyataan (multiple realities) dan setiap masyarakat membentuk realitas mereka sendiri? Pandangan ini tidak benar karena relativisme tidak sesuai dengan pengalaman seharihari dalam dunia ilmu. Yang pasti postpositivisme mengakui bahwa paradigma hanyalah berfungsi sebagai lensa bukan sebagai kacamata. Selanjutnya, relativisme mengungkap bahwa semua pandangan itu benar, sedangkan realis hanya berkepentingan terhadap pandangan yang dianggap terbaik dan benar. Postpositivisme menolak pandangan bahwa masyarakat dapat menentukan banyak hal sebagai hal yang nyata dan benar tentang suatu objek oleh anggotanya. Keempat, karena pandangan bahwa persepsi orang berbeda, maka tidak ada sesuatu yang benar-benarpasti. Bukankah postpositivisme menolak kriteria objektivitas? Pandangan ini sama sekali tidak bisa diterima. Objektivitas merupakan indikator kebenaran yang melandasi semua penyelidikan. Jika kita menolak prinsip ini, maka tidak ada yang namanya penyelidikan. Yang ingin ditekankan di sini bahwa objektivitas tidak menjamin untuk mencapai kebenaran.

Munculnya gugatan terhadap positivisme di mulai tahun 1970-1980an. Pemikirannya dinamai “post-positivisme”. Tokohnya; Karl R. Popper, Thomas Kuhn, para filsuf mazhab Frankfurt (Feyerabend, Richard Rotry). Paham ini menentang positivisme, alasannya tidak mungkinmenyamaratakan ilmu-ilmu tentang manusia dengan ilmu alam, karena tindakan manusia tidak bisa diprediksi dengan satu penjelasan yang mutlak pasti, sebab manusia selalu berubah. Post-positivisme merupakan perbaikan positivisme yang dianggap memiliki kelemahan-kelemahan, dan dianggap hanya mengandalkan kemampuan pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti. Secara ontologis aliran post-positivisme bersifat critical realism dan menganggap bahwa realitas memang ada dan sesuai dengan kenyataan dan hukum alam tapi mustahil realitas tersebut dapat dilihat secara benar oleh peneliti. Secara epistomologis: Modified dualist/objectivist, hubungan peneliti dengan realitas yang diteliti tidak bisa dipisahkan tapi harus interaktif dengan subjektivitas seminimal mungkin. Secara metodologis adalah modified experimental/ manipulatif. Observasi yang didewakan positivisme dipertanyakan netralitasnya, karena observasi dianggap bisa saja dipengaruhi oleh persepsi masing-masing orang. Proses dari positivisme ke post-positivisme melalui kritikan dari tiga hal yaitu:

1) Observasi sebagai unsur utama metode penelitian

 2) Hubungan yang kaku antara teori dan bukti. Pengamat memiliki sudut pandang yang    berbeda dan teori harus mengalah pada perbedaan waktu

3) Tradisi keilmuan yang terus berkembang dan dinamis (Salim, 2001).

 Post positivisme merupakan sebuah aliran yang datang setelah positivisme dan memang amat dekat dengan paradigma positivisme. Salah satu indikator yang membedakan antara keduanya bahwa post positivisme lebih mempercayai proses verifikasi terhadap suatu temuan hasil observasi melalui berbagai macam metode. Dengan demikian suatu ilmu memang betul mencapai objektivitas apabila telah diverifikasi oleh berbagai kalangan dengan berbagai cara.

 

MODEL MODEL KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA MENURUT HAMMER, THOMAS & KILMAN, TING TOOMEY

  Komunikasi Antar Budaya Menurut Hammer Perintis yang penting kepada kompetensi budaya ialah sensitiviti antara Budaya   Menurut Hammer, se...