Postmodernisme adalah sebuah pandangan, kerangka pemikiran, atau aliran
filsafat yang berkaitan dengan sikap dan cara berpikir yang muncul di abad dua puluh
dari para pemikir dunia yang tentu saja keberadaannya sangat mempengaruhi
perkembangan dan kebudayaan manusia. Penerapan postmodernismepun telah
dilakukan dalam berbagai bidang, seperti:
seni, arsitektur, musik, film, dan teater. Kehadiran aliran ini memiliki
tujuan untuk menjawab dan mengkritisi pandangan-pandangan yang telah ada
sebelumnya dalam hal mencari solusiatas beragam permasalahan yang dihadapi manusia
hari ini serta krisis sosial dan kultural yang tak kunjung usai. Sebagian para
ahli sepakat bahwa postmodernisme bisa mengatasi krisis-krisis sosial yang
terjadi, sehingga pemikiran ini pun telah mempengaruhi hampir sebagian besar
sisi kehidupan manusia, namun sebagian yang lain tidak jarang yang meragukan
kemampuan pendekatan postmodernisme ini, sebagaimana yang ditulis Jenks dalam
bukunya Studi Kebudayaan, yaitu: Postmodernisme tidak menawarkan cara-cara alternatif
untuk mengetahui (memperoleh pengetahuan) darimana kita bisa menghadapi dan
menghargai sesuatu yang ‟baru‟ secara layak, tetapi menyindir wacana
dengan terus-menerus membabat
epistimologi-epistimologi yang ada dan menghadirkan penurunan dan
pelemahan pengaruh penjelasan-penjelasan yang didasarkan atas
kualitas wacana yang sama sekali tidak istimewa (Jenks, 2013: 202).
A.
LAHIRNYA POSTMODERNISME
Munculnya postmodernisme tidak dapat dilepaskan dari modernisme itu
sendiri. Kata modernisme mengandung makna serba maju, gemerlap, dan progresif.
Modernisme selalu menjanjikan pada kita untuk membawa pada perubahan ke dunia
yang lebih mapan di mana semua kebutuhan akan dapat terpenuhi. Rasionalitas
akan membantu kita menghadapi mitos-mitos dan keyakinan-keyakinan tradisional
yang tak berdasar, yang membuat manusia tak berdaya dalam menghadapi dunia ini
(Maksum, 2014: 309). Namun demikian, modernisme memiliki sisi gelap yang
menyebabkan kehidupan manusia kehilangan diorientasi. Apa yang dikatakan oleh
Max Horkheimer, Ardono, dan Herbert Marcuse bahwa pencerahan tersebut
melahirkan sebuah penindasan dan dominasi disamping juga melahirkan kemajuan.
Modernisme, menurut Anthony Giddens, menimbulkan berkembangbiaknya petaka bagi
umat manusia. Pertama, penggunaan kekerasan dalam menyelesaikan sengketa.
Kedua, penindasan oleh yang kuat atas yang lemah. Ketiga, ketimpangan sosial
yang kian parah. Keempat, kerusakan hidup yang kian menghawatirkan (Maksum,
2014: 311). Tumbangnya modernisme dan munculnya postmodernisme dapat kita
ketahui dari pemikiran filsafatnya Soren Kierkegaard (1813-1855), sebagaimana dikutip
oleh Ali Maksum, yang menentang rekonstruksirekonstruksi rasional dan masuk
akal yang menentukan keabsahan kebenaran ilmu. Sesuatu itu dikatakan benar
ketika sesuai dengan konsensus atau aturan yang berlaku di dunia modern, yaitu
rasional dan objektif. Namun tidak dengan Kierkegaard, dia berpendapat bahwa
kebenaran itu bersifat subjektif (Ghazali & Effendi, 2009: 314). Truth is
subjectivity, artinya bahwa pendapat tentang kebenaran subjektif itu menekankan
pentingnya pengalaman yang dialami oleh seorang individu yang dianggapnya
relatif. Gejala Postmodernisme yang merambah ke berbagai bidang kehidupan
tersebut yang didalamnya termasuk ilmu pengetahuan merupakan suatu reaksi
terhadap gerakan modernisme yang dinilainya mengalami kegagalan. Modernisme yang
berkembang dengan ditandai oleh adanya rasionalisme, materialisme, dan
kapitalisme yang didukung dengan perkembangan teknologi serta sains menimbulkan
disorientasi moral keagamaan dengan runtuhnya martabat manusia (Kalean, 2002:
298). Atas latar belakang itulah, para tokoh dan pemikir postmodernisme
menghadirkan sebuah gagasan baru yang disebut dengan postmodernisme dalam
rangka melakukan dekonstruksi paradigma terhadap berbagai bidang keilmuan,
sebagai sebuah upaya untuk mengoreksi atau membuat dan bahkan menemukan
paradigma yang baru. Postmodernisme seperti yang dikatakan oleh Derrida dan
Lyotard, merupakan anti tesis dari modernisme.
B.
TOKOH-TOKOH POSTMODERNISME
Ada beberapa tokoh yang bisa disebut
mewakili era Postmodernisme.
Pertama, Jean-Francois Lyotard, merupakan salah satu filsuf
postmodernisme yang paling terkenal sekaligus paling penting di antara
filsuf-filsuf postmodernisme yang lainnya. Dua karya yang menjadikannya
terkenal baik di Perancis maupun diluar negeri yaitu The Postmodernisme
Condition dan The Differend. Karyanya itu juga baik sesuatu ataupun seseorang
yang ditolak bersuara terhadap sistem ideologis yang dominan yang menentukan
sesuatu yang dapat diterima dan tidak dapat diterima (Zaprulkhan, 2006: 320).
Pemikiran Lyotard tentang ilmu pengetahuan dari pandangan modernisme yang
sebagai narasi besar seperti kebebasan, kemajuan, dan sebagainya kini
menurutnya mengalami permasalahan yang sama seperti abad pertengahan yang memunculkan
istilah religi, nasional kebangsaan, dan kepercayaan terhadap keunggulan negara
eropa untuk saat ini tidak dapat dipercaya atau kurang tepat kebenarannya.
Maka, postmodernisme menganggap sesuatu ilmu tidak harus langsung diterima
kebenarannya harus diselidiki dan dibuktikan terlebih dahulu. Bagi Lyotard,
ilmu pengetahuan postmodernisme bukanlah semata-mata menjadi alat penguasa,
ilmu pengetahuan postmodern memperluas kepekaan kita terhadap pandangan yang
berbeda dan memperkuat kemampuan kita untuk bertoleransi atas pendirian yang
tak mau dibandingkan (Maksum, 2014: 319-321).
Kedua, Michel Foucault, adalah seorang tokoh postmodernisme yang
menolak keuniversalan pengetahuan. Ada beberapa asumsi pemikiran pencerahan
yang ditolak oleh Foucault yaitu: 1) Pengetahuan itu tidak ersifat metafisis,
transendental, atau universal, tetapi khas untuk setiap waktu dan tempat 2)
Tidak ada pengetahuan yang mampu menangkap katakter objektif dunia, tetapi
pengetahuan itu selalu mengambil perspektif. 3) Pengetahuan tidak dilihat
sebagai pemahaman yang netral dan murni, tetapi selalu terikat dengan
rezim-rezim penguasa (Maksum, 2014: 322).
Ketiga, Jacques Derrida. Membahas filsuf yang satu ini tidak
akan lepas dari buah pikirannya tentang dekonstruksi. Istilah ini merupakan
salah satu konsep kunci postmodernisme. Apa itu dekonstruksi? secara
etimologis, dekonstruksi adalah berarti mengurai, melepaskan, dan membuka
(Maksum, 2014: 331). Derrida menciptakan sebuah pemikiran dekonstruksi, yang
merupakan salah satu kunci pemikiran postmodernisme, yang mencoba memberikan
sumbangan mengenai teori-teori pengetahuan yang dinilai sangat kaku dan
kebenarannya tidak bisa dibantah, yang dalam hal ini pemikiran modernisme.
Derrida mencoba untuk meneliti kebenaran terhadap suatu teori pengetahuan yang
baginya bisa dibantah kebenarannya yang dalam arti bisa membuat teori baru
asalkan hal tersebut dapat terbukti kebenarannya dan dipertanggungjawabkan.
C.
CIRI-CIRI PEMIKIRAN POSTMODERNISME
Amin Abdullah dalam bukunya berjudul Falsafah Kalam di Era
Postmodernisme menyatakan bahwa ciri-ciri pemikiran postmodernisme adalah
dekonstruktif. Hampir semua bangunan atau konstruksi dasar keilmuan yang telah
mapan dalam era modern, baik dalam bidang sosiologi, psikologi, antropologi,
sejarah, bahkan juga ilmu-ilmu kealaman yang selama ini baku ternyata
dipertanyakan ulang oleh postmodernisme. Hal ini terjadi karena teori tersebut
dianggap menutup munculnya teori-teori lain yang barangkali jauh lebih dapat
membantu memahami realitas dan pemecahan masalah. Jadi klaim adanya teori-teori
yang baku, standar, yang tidak dapat diganggu gugat, itulah yang ditentang oleh
pemikir postmodernisme. Standar yang dilihatnya kaku dan terlalu skematis
sehingga tidak cocok untuk melihat realitas yang jauh lebih rumit. Maka
menurutnya harus diubah, diperbaiki, dan disempurnakan oleh para pemikir
postmodernisme. Dalam istilah Amin Abdullah dikenal dengan deconstructionism
yakni upaya mempertanyakan ulang teori-teori yang sudah mapan yang telah
dibangun oleh pola pikir modernisme, untuk kemudian dicari dan disusun teori
yang lebih tepat dalam memahami kenyataan masyarakat saat ini, meliputi
keberagaman, dan juga realitas alam (Abdullah, 2004: 96). Ciri postmodernisme
yang lain adalah berwatak relativisme, artinya pemikiran postmodernisme dalam
hal realitas budaya (nilainilai, kepercayaan, dan lainnya) tergambar dalam
teori-teori yang dikembangkan oleh disiplin ilmu antropologi. Dalam pandangan
antropologi, tidak ada budaya yang sama dan sebangun antara satu dengan yang
lain. Seperti budaya Amerika jelas berbeda dengan Indonesia. Maka nilai-nilai
budaya jelas sangat beraneka ragam sesuai dengan latar belakang sejarah,
geografis, dan sebagainya. Dapat disimpulkan bahwa ilmu pengetahuan bagi
postmodernisme bersifat relatif, tidak ada ilmu pengetahuan yang kebenarannya
absolut. Dan melihat suatu peristiwa tertentu juga ketika ingin menilainya
harus dilihat dari segala sisi, tidak hanya terfokus pada satu sisi tertentu.
D.
KELEBIHAN DAN KELEMAHAN POSTMODERNISME
Kelebihan postmodernisme antara lain bahwa perspektif postmodernisme
dapat membuat kita peka terhadap kemungkinan bahwa wacana besar positif,
prinsip-prinsip etika positif, dapat diputar dan dipakai untuk menindas
manusia. Martabat manusia harus dijunjung tinggi, seperti kebebasan adalah
nilai tinggi, tetapi bisa saja terjadi bahwa nama kebebasan sekelompok orang
mau ditiadakan. Postmodernisme ikut membuat kita sadar, sebuah kesadaran bahwa
semua cerita besar perlu dicurigai, perlu diwaspadai agar tidak menjelma rezim
totalitarianisme yang hanya mau mendengarkan suara diri sendiri dan
mengharuskan suara-suara yang berbeda dari luar (Zaprulkhan, 2006: 323-324).
Menurut Franz Dahler, postmodernisme memiliki segi positif, yaitu keterbukaan
untuk kebhinekaan masyarakat, untuk toleransi, perlawanan terhadap monopoli,
dominan agama, aliran dan ideologi tertentu, hingga menguntungkan demokrasi
(Jalaluddin, 2013: 67). Zaprulkhan menyatakan bahwa setidaknya ada kelemahan
yang ada pada postmodernisme, yang penulis rangkum menjadi tiga poin utama,
yaitu, pertama, postmodernisme yang sangat semangat mempromosikan narasi-narasi
kecil, ternyata buta terhadap kenyataan bahwa banyak juga narasi kecil yang
mengandung banyak kebusukan. Katakanlah kaum komunitarian yang membela
tradisi-tradisi komunitas dikemukakan bahwa banyak tradisi komunitas bertentangan
tidak hanya dengan suatu ide abstrak martabat manusia postmodernisme akan
menolak argumen itu, melainkan terhadap institusi-institusi moral mendalam
manusia. Kedua, postmodernisme tidak membedakan antara ideologi, di satu pihak
dan prinsip-prinsip universal etika terbuka, di pihak lain. Dengan
istilah-istilah kabur seperti cerita besar mereka menutup perbedaan yang
prinsipil itu. Yang mempermudah adalah pendekatan ideologis dan bukan
nilainilai dan prinsip-prinsip dasar moralitas yang terbuka. Dalam arti
ideologi tertutup, memang bertentangan dengan martabat manusia sebagai makluk
yang bertindak berdasarkan kesadaran akan baik dan buruk, yang sanggup untuk
bertanggung jawab, karena ideologi selalu menuntut ketaatan mutlak. Dan yang
ketiga Postmodernisme menuntut untuk menyingkirkan cerita-cerita besar demi
cerita kecil atau lokal. Dengan kata lain tuntutan postmodernisme kontradiktif,
memaklumkan kepada umat manusia bahwa maklumat-maklumat kepada umat manusia
(cerita besar) harus ditolak sama artinya dengan memaklumatkan bahwa maklumat
itu sendiri tidak perlu dihiraukan (Zaprulkhan, 2006: 322-323).
E.
KRITIK TERHADAP POSTMODERNISME
Habermas dalam bukunya, The Philosophical of Modernity, mengkritik postmodernisme
menyatakan bahwa asal-usul konsep postmodernity itu sendiri harus diteliti.
Habermas menyatakan ada kelemahan mendasar pemikiran kaum postmodernis tentang
modernitas yang dianggap ahistoris. Para pemikir postmodernisme seakan-akan
menghilangkan dimensi dan cakrawala historis yang memunculkan postmodern itu.
Ali Maksum menyatakan bahwa kritik atas postmodernisme antara lain: a) Pemikir
postmodernisme kurang tegas apakah mereka menciptakan teori atau mengarang
sastra; b) Habermas merasa argumen para postmodernis sarat dengan sentimen
normatif, namun sentimen mereka itu disembunyikan dari pembaca, Habermas
mengemukakan sentimen normatifnya (kebebasan, keterbukaan, komunikasi) yang
dijadikan sumber kritiknya terhadap masyarakat serta menjadi basis bagi praktis
politiknya; c) Habermas mengkritik postmodernisme sebagai perspektif yang gagal
membedakan fenomena dan praktik yang terjadi pada masyarakat modern. contohnya
tentang pandangan dunia yang didominasi oleh kekuasaan dan pengawasan tidak
memberikan peluang yang cukup baik untuk melakukan analisis yang bermakna atas
sumber nyata penindasan dalam kehidupan modern; d) Pemikir postmodernisme
dituduh mengabaikan praktik kehidupan dunia. Kekeliruan ini merupakan kerugian
ganda bagi pemikir postmodernisme. Di satu sisi, mereka sumber penting
perkembangan standar normatif. Sedangkan disisi lain, mereka menjadikan
kehidupan dunia sebagai tujuan akhir karya ilmu sosial (Maksum, 2014: 340,
345-346).